Judul:
Makna Simbolik Dalam Ritual “Mappanre Dewata” Pada Prosesi Perkawinan di Kabupaten
Wajo (Kajian semiotika)
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun
sederhana, memiliki kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Kebudayaan merupakan hasil segala akal dan pikiran manusia yang teritegrasi ke
dalam prilaku-prilaku masyarakat yang biasanya diwariskan secara turun temurun.
Masyarakat provinsi Sulawesi Selatan terdiri atas
berbagai macam etnis dan suku, dan masing-masing memilki keragaman budaya yang
berbeda-beda. Di dalam kehidupan masyarakat bugis di Sulawesi Selatan khususnya
di Wajo, dikenal istilah “pangadereng” (adat istiadat). Pangadereng ini adalah
perwujudan bentuk dari kebudayaan masyarakat.
Salah satu bentuk dari pangadereng (adat istiadat)
dari kehidupan masyarakat bugis Wajo adalah abottingeng (perkawinan).
Perkawinan ini merupakan bagian yang sangat integral dari kebudayaan masyarakat
bugis yang di dalamnya berisi nilai-nilai budaya. Nilai budaya itulah yang
ditampilkan dalam upacara ritual yang penuh dengan makna symbol.
Sebagai salah satu bentuk tradisi dalam kehidupan
masyarakat bugis di kabupaten Wajo, apabila seseorang ingin melaksanakan
upacara pernikahan biasanya diadakan upacara ritual “Mappanre Dewata” yaitu
salah satu bagian dari tahapan atau proses yang dilaksanakan sebelum memasuki
acara pernikahan.
“Mappanre
Dewata” merupakan sebuah tradisi dalam kehidupan masyarakat bugis, yaitu salah
satu bentuk ritual yang biasanya dilakukan pada malam hari, sehari sebelum
prosesi perkawinanan. “Mappanre Dewata ini dilakukan dengan tujuan untuk
mempertemukan jiwa (diri) mempelai wanita kepada tuhan sang pencipta, selain itu
untuk dijauhkan dari berbagai macam kesulitan nantinya setelah berumah tangga.
Mappanre dewata” dalam tradisi ritual bugis dilakukan oleh seorang sangro (dukun) yang berperan sebagai pabbaca-baca doang (pengucap mantra), Biasanya mappanre dewata ini atau dikenal dengan istilah makan dalam kelambu dilaksanakan di dalam kamar. Terserah dimana letak kamar tersebut. Jika orang yang melakukan ritual ini tidak mempunyai ruangan yang tepat/ tidak mempunyai kamar, tidak apa-apa yang lebih penting orang tersebut harus mempunyai kelambu. menggunakan pelleng (lilin), dan sesajen. Secara keseluruhan semua komposisi itu memilki makna tersendiri yang sampai sekarang ini masih dijumpai dan dilaksanakan oleh setiap orang yang akan melansungkan pernikahan.
Penelitian tentang makna simbolik pernah dilakukan sebelumnya oleh Mirwaty dengan judul Makna Simbol Dalam Acara Mappacci Pada Upacara Perkawinan Adat Bugis di Soppeng. Perbedaan dalam penelitian ini, peneliti sebelumnya berfokus pada prosesi Mappacci sedangkan pada penelitian ini berfokus pada ritual Mappanre Dewata dengan menggunakan kajian semiotika.
Berdasar dari asumsi diatas maka penulis ingin mengkaji bagaimana makna simbolik dalam ritual “Mappanre Dewata” pada prosesi perkawian di kabupaten wajo dengan kajian semiotika.
Mappanre dewata” dalam tradisi ritual bugis dilakukan oleh seorang sangro (dukun) yang berperan sebagai pabbaca-baca doang (pengucap mantra), Biasanya mappanre dewata ini atau dikenal dengan istilah makan dalam kelambu dilaksanakan di dalam kamar. Terserah dimana letak kamar tersebut. Jika orang yang melakukan ritual ini tidak mempunyai ruangan yang tepat/ tidak mempunyai kamar, tidak apa-apa yang lebih penting orang tersebut harus mempunyai kelambu. menggunakan pelleng (lilin), dan sesajen. Secara keseluruhan semua komposisi itu memilki makna tersendiri yang sampai sekarang ini masih dijumpai dan dilaksanakan oleh setiap orang yang akan melansungkan pernikahan.
Penelitian tentang makna simbolik pernah dilakukan sebelumnya oleh Mirwaty dengan judul Makna Simbol Dalam Acara Mappacci Pada Upacara Perkawinan Adat Bugis di Soppeng. Perbedaan dalam penelitian ini, peneliti sebelumnya berfokus pada prosesi Mappacci sedangkan pada penelitian ini berfokus pada ritual Mappanre Dewata dengan menggunakan kajian semiotika.
Berdasar dari asumsi diatas maka penulis ingin mengkaji bagaimana makna simbolik dalam ritual “Mappanre Dewata” pada prosesi perkawian di kabupaten wajo dengan kajian semiotika.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Bagaimana pendekskripsian makna yang disimbolkan dalam ritual “Mappanre Dewata”
pada prosesi perkawinan adat di kabupaten Wajo?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mendekskripsikan bentuk-bentuk makna simbolik
dalam ritual “Mappanre Dewata” pada prosesi perkawinan adat di Kabupaten
Wajo.
D.
Manfaat
penelitian
1. Manfaat teoreti
Manfaat teoretis dalam penelitian ini adalah melestarikan nilai-nilai kebudayaan dalam perkawinan adat
bugis di Kabupaten Wajo
Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah sebagai bahan informasi kepada masyarakat, khususnya
mahasiswa dalam rangka menambah pengetahuan.
1. Manfaat teoreti
Manfaat teoretis dalam penelitian ini adalah melestarikan nilai-nilai kebudayaan dalam perkawinan adat
bugis di Kabupaten Wajo
Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah sebagai bahan informasi kepada masyarakat, khususnya
mahasiswa dalam rangka menambah pengetahuan.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A.
Tinjauan
Pustaka
Adat istiadat
Istilah tradisi dapat dimaknai sebagai warisan. Selain itu, istilah tradisi diartikan sebagai kebiasaan yang
turun temurun dalam masyarakat. Sifatnya sangat luas, meliputi segala kompleks kehidupan sehingga
sukar disisihkan dalam pencarian yang tetap dan pasti (Priyanto, 1992: 15).
Kata tradisi mengandung arti, sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada
norma dan adat kebiasaan yang secara turun temurun. Sejalan dengan pendapat (Muliono dalam Priyanto
yang mengemukakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang berkembang dalam masyarakat luas serta
mengakui pola-pola secara turun-temurun dan cenderung memperhatikan kemurnian sebagai warisa
Masyarakat Bugis merupakan masyarakat yang sarat dengan prinsip dan nilai-nilai adat dan ajaran agama
di dalam menjalankan kehidupan mereka. Mereka yang mampu memegang teguh prinsip-prinsip tersebut
adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang dapat memberikan keteladanan dan membawa norma
dan aturan sosial.
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain. Dalam pangadereng (adat istiadat bugis) terdiri atas 5 unsur pokok yang membangunnya yaitu: (1) ade’, aspek pangadereng yang mengatur pelaksanaan sistem norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan orang bugis, (2) bicara, semua keadaan yang berkaitan dengan masalah peradilan. (3) rapang, yaitu contoh, misal, ibarat atau perumpamaan, persamaan/ kias. (4) wari, penjenisan yang membedakan saru dengan yang lain, suatu perbuatan yang selektif menata atau menertibkan. (5) siri’, yaitu daya pendorong untuk melenyapkan dan untuk membunuh, mengasingkan, mengusir kepada siapa yang menyinggung perasaan (Mattulada, 1985).
Adat istiadat
Istilah tradisi dapat dimaknai sebagai warisan. Selain itu, istilah tradisi diartikan sebagai kebiasaan yang
turun temurun dalam masyarakat. Sifatnya sangat luas, meliputi segala kompleks kehidupan sehingga
sukar disisihkan dalam pencarian yang tetap dan pasti (Priyanto, 1992: 15).
Kata tradisi mengandung arti, sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada
norma dan adat kebiasaan yang secara turun temurun. Sejalan dengan pendapat (Muliono dalam Priyanto
yang mengemukakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang berkembang dalam masyarakat luas serta
mengakui pola-pola secara turun-temurun dan cenderung memperhatikan kemurnian sebagai warisa
Masyarakat Bugis merupakan masyarakat yang sarat dengan prinsip dan nilai-nilai adat dan ajaran agama
di dalam menjalankan kehidupan mereka. Mereka yang mampu memegang teguh prinsip-prinsip tersebut
adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang dapat memberikan keteladanan dan membawa norma
dan aturan sosial.
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain. Dalam pangadereng (adat istiadat bugis) terdiri atas 5 unsur pokok yang membangunnya yaitu: (1) ade’, aspek pangadereng yang mengatur pelaksanaan sistem norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan orang bugis, (2) bicara, semua keadaan yang berkaitan dengan masalah peradilan. (3) rapang, yaitu contoh, misal, ibarat atau perumpamaan, persamaan/ kias. (4) wari, penjenisan yang membedakan saru dengan yang lain, suatu perbuatan yang selektif menata atau menertibkan. (5) siri’, yaitu daya pendorong untuk melenyapkan dan untuk membunuh, mengasingkan, mengusir kepada siapa yang menyinggung perasaan (Mattulada, 1985).
Kelima
unsur pangadereng tersebut saling berkaitan sebagai kesatuan organis dalam
pikiran dan jiwa masyarakat bugis. Seluruh aspek pangadereng tersebut
memberikan ajaran moralitas yang membentuk prilaku seluruh masyrakat baik yang
bersifat pribadi maupun kelompok.
2. Upacara
perkawinan
a. Pengertian
perkawinan
Perkawinan merupakan
bagian yang sangat integral dalam sisi kehidupan manusia. Telah menjadi
kodratnya oleh sang pencipta bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan.
Secara etimologi,
perkawinan berasala dari kata “nikah” yang mendapat imbuhan/ awalan per dan
akhiran an yang mengandung pengertian sesuatu yang menunjukkan hal ikatan yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama (Soekanto, 1976: 2).
Penegasan tentang perkawinan itu sendiri menurut UU RI
No.1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang
pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
sakinah mawaddah warahma. Bentuk perkawinan dilakukan berdasarkan aturan atau
kepercayaan yang berlaku pada daerah tertentu dan dianggap sah apabila
dilakukan dengan aturan-aturannya.
Perkawinan adat adalah salah satu bentuk budaya local
yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Bentuk budaya lokal ini memiliki
perbedaan dan keunikan pada komunitas masyarakat tertentu. Hal ini bias
terlihat pada tata cara pelaksanaannya, begitupula pada simbol-simbol yang
muncul dari budaya tersebut.
b. Jenis-jenis
perkawinan
Apabila menelusuri
proses perkawinan dikalangan masyrakat bugis, maka dikenal beberapa jenis
perkawinan yaitu sebagai berikut:
1. Perkawinan
yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (massuro)
Perkawinan jenis ini
berlaku secara turun-temurun bagi masyrakat bugis yang bersifat umum, baik dari
golongan bangsawan maupun masyrakat biasa. Perbedaanya hanya dari tata
pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui proses yang panjang dengan
upacara adat tertentu, sedangkan masyrakat awam berdasarkan kemampuan yang
dilaksanakan secara sederhana.
2. Perkawinan
silariang (kawin lari)
Perkawinan yang
dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapi kedua belah pihak
melakukan mufakat untuk lari dari rumah penghulu atau kepala kampong untuk
mendapatkan perlindungan dan selanjutnya diurus untuk dinikahkan.
Dalam masyarakat bugis
peristiwa silariang (melarikan diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan yang
mengakibatkan “siri” bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa semacam ini bagi
pihak perempuan yang disebut “tomasiri” selalu berusaha untuk menegakkan harga
diri atau “siri” dengan cara membunuh laki-laki yang melarikan anak gadisnya
(anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat, apabila keduanya telah
berada di rumah anggota adat atau penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa
diganggu lagi. Penghulu atau anggota adat harus berusaha dan berkewajiban
mengurus dan menikahkannya.
Untuk maksud tersebut
diatas diadakanlah komunikasi kepada orang tua perempuan (to masiri) untuk
dimintai persetujuannya tetapi sering juga terjadi orang tua dan keluarga pihak
perempuan tidak mau memberi persetujuannya, karena merasa dipermalukan (ri
pakasiri). Bahkan orang tua yang dipermalukan (ri pakasiri) itu menganggap
anaknya yang dilarikan itu telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui sebagai
anaknya (massakkarengngi ana’na). apabila hal ini terjadi maka jalan lain yang
ditempuh adalah pihak adat atau penghulu menikahkannya dengan istilah
wali-hakim.
Akan tetapi walaupun
keduanya telah dinikahkan, hubungan antara keluarga laki-laki dan perempuan
tetap berbahaya. Oleh karena itu, selama keduanya belum diterima kembali untuk
rujuk yang disebut “madeceng” (meminta maaf) maka laki-laki yang membawa lari
gadis tersebut tetap berhati-hati dan berupaya menghindar untuk bertemu orang
tua dan keluarga pihak perempuan.
3. Perkawinan menurut usia
Telah diketahui bahwa
usia perkawinan diatur dalam Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan,
yaitu usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Hal ini
dimaksudkan agar kedua calon mempelai tersebut memiliki kematangan dalam
berumah tangga, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari suatu perkawianan yaitu
mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Dahulu, usia perkawinan
tidak ada pembatasan sehingga sering terjadi anak dibawah umur dinikahkan
(botting ‘ana-ana’). Tetapi mereka berdua tetap tinggal di rumah orang tua
masing-masing. Ketika keduanya telah aki-baliq (menanjak dewasa) barulah
dipertemukan untuk hidup sebagai suami istri. Hal ini masih berlaku hingga
akhir abad ke-19.
4. Perkawinan
yang dilarang
Sejak dahulu adat yang
berlaku dalam masyarakat bugis/ Makassar melarang perkawinan antara dua orang
(laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat,
seperti:
a. Seorang
pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/ nenek) baik melalui
ayah atau ibu.
b. Seorang
pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya (anak/ cucu/ cicit)
termasuk keturunan anak wanita.
c. Deorang
pria dilarang kawin dengan wanita dari keturuan ayah atau ibu (saudara kandung/
anak dari saudara kandung)
d. Seorang
pria dilarang kawin dengan wanita saudara yang menurunkan (saudara kandung
ayah/ saudara kandung ibu/ saudara kakek atau nenek baik dari ayah maupun dari
ibu.
Dari hal tersebut,
berarti seorang pria dilarang kawin dengan seorang wanita dalam garis keturunan
lurus ke atas dan ke bawah tanpa batas, apabila hal ini terjadi maka oleh
masyarakat bugis menganggnya peristiwa “malaweng” (perbuatan haram menurut
islam).
c. Tahap-tahap
perkawinan
Adapaun tahap dari
proses perkawinan adat bugis secara umum dapat dibagi atas 3 tahapan yaitu
sebagai berikut:
1. Tahapan
pra nikah
a. Madduta/
lao lettu
Banyak tahapan
pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta perkawinan (mappabotting)
dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia
lahir) maka keluarganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira
dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan
laki-laki akan diteliti secara saksama untuk mengetahui apakah status
kebangsawanan mereka sesuai atau tidak, jangan sampai tingkatan pelamar lebih
rendah daripada perempuan yang akan dilamar.
Madduta artinya
meminang secara resmi, dahulu kala dilakukan beberapa kali, sampai ada kata
sepakat. Namun, secara umum proses yang ditempuh sebelum meminang adalah
menentukan besarnya “sompa” yaitu, mas kawin atau mahar sebagai syarat sahnya
suatu perkawinan. Besarnya sompa telah ditentukan menurut golongan atau
tingkatan derajat gadis. Penggolongan sompa tidaklah selalu sama dengan
pengistilahnnya ada dalam bentuk uang “real” adapula dalam bentuk “kati”.
b. Ma’pisseng/
ma’tale unda’ngeng/ atau memberi kabar
Setelah kegiatan
madduta atau peminangan telah selesai, dan menghasilkan kesepakatan. Maka kedua
belah pihak keluarga calon mempelai akan menyampaikan kabar
c. Mappalettu
selling
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari proses
sebelumnya yaitu mappaisseng, dan biasanya pihak keluarga calon mempelai akan
mengundang seluruh sanak saudara dan handai taulan. Undangan tertulis ini
dilaksanakan kira-kira 10 atau 1 minggu sebelum resepsi perkawinan
dilangsungkan.
Kegiatan ini disebut juga mappalettu selleng karena diharapkan pihak yang diundang akan merasa dihargai bila para pembawa undangan ini menyampaikan salam dan harapan dari pihak yang mengundang kiranya bersedia datang untuk memberi restu.
Kegiatan ini disebut juga mappalettu selleng karena diharapkan pihak yang diundang akan merasa dihargai bila para pembawa undangan ini menyampaikan salam dan harapan dari pihak yang mengundang kiranya bersedia datang untuk memberi restu.
d. Ma’sarapo/
baruga
Sarapo atau baruga adalah bangunan tambahan yang
didirikan di samping kiri/kanan rumah yang akan ditempati melaksanakan akad
nikah. Sedangkan baruga adalah bangunan terpisah dari rumah yang ditempati
bakal pengantin dan dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam yang
disebut wlsuji “walasuji”. Di dalam sarapo atau baruga dibuatkan pula tempat
yang khusus bagi pengantin dan kedua orang tua mempelai yang disebut lmi
“lamming”. Tetapi akhir-akhir ini masyarakat Bugis sudah jarang lagi mendirikan
sarapo oleh karena sudah ada beberapa gedung atau tenda yang dipersewakan
lengkap dengan peralatannya, namun kadang pula masih ada yang melaksanakan
terutama bagi kalangan bangsawan dan orang berada.
e. Ma’pacci,mappatemme
al-quran, mappanre dewata/ tudang penni
·
Mappacci
Upacara adat mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni,
menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya. Upacara mappacci adalah
salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar
(Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya
dilakukan dulu dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan barazanji. Daun
pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang makananya adalah kebersihan dan
kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappacci mengandung makna akan kebersihan
raga dan kesucian jiwa.
Sebelum acara mappacci dimulai, biasanya dilakukan padduppa (penjemputan) mempelai. Calon mempelai dipersilakan oleh Protokol atau juru bicara keluarga.
Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan.
Pelaminan di sisi para pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain.
Mereka duduk bersuka ria di malam tudampenni, mappacci pada sang raja/ratu
mempelai nan rupawan. Tuntunlah dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan
yang bertahtakan emas.
Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan
perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti makna simbolis seperti:
a.
Sebuah bantal atau pengalas kepala yang diletakkan di depan calon
pengantin, yang memiliki makna penghormatan atau martabat, kemuliaan dalam
bahasa Bugis berarti mappakalebbi.
b.
Sarung sutera 7 lembar yang tersusun di atas bantal yang
mengandung arti harga diri.
c.
Di atas bantal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan
kehidupan yang berkesinambungan dan lestari.
Penggunaan pacci ini menandakan bahwa calon
mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh akad nikah keesokan
harinya dan kehidupan selanjutnya sebagai sepasang suami istri hingga ajal
menjemput. Daunpacar atau pacci yang telah dihaluskan ini disimpan dalam wadah
bekkeng sebagai permaknaan dari kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan
keluarga dan kehidupan masayarakat.
Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya.
Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya.
·
Mappanre Dewata (makan dalam kelambu)
Prosesi makan dalam
kelambu (Mappanre Dewata) ini sudah turun temurun dari nenek moyang suku bugis,
biasanya ritual ini dilakukan pada waktu ada hajatan perkawinan, tetapi bias
jiga dilkukan apabila ada hajatan yang lain, misalnya khitanan (sunatan), naik ayun
(naek tojang). Namun, dalam hal ini peneliti hanya berfokus pada ritual
mappanre dewata pada prosesi perwawinan. Ritual makan dalam kelambu ini
biasanya orang yang terlibat seperti : pawang/ dukun (sangro), orang yang
melakukan hajatan (calon pengantin)
Pawang disini maksudnya
orang yang membacanya doa-doa atau yang melaksanakan ritual tersebut. Pawang
tersebut tidak boleh sembarangan, dia harus sudah menguasai mantra-mantranya
atau doa-doa tersebut, dan biasanya pawang tersebut sudah turun-temurun, yang
melaksanakannya, atau yang lebih tepat orang yang sudah ahli.
Biasanya prosesi makan
dalam kelambu dilaksanakan di dalam kamar. Terserah dimana letak kamar
tersebut. Jika orang yang melakukan hajatan tidak mempunyai ruangan yang tepat/
tidak mempunyai kamar, tidak apa-apa yang lebih penting orang tersebut harus
mempunyai kelambu. Dan kelambu tersebut harus dipasang. Boleh dipakai pangkeng
(tempat tidur yang pakai besi) boleh juga tidak. Harus dipakai kelambu ini
wajib, karenakan inilah alat-alat dalam makan kelambu yang tidak boleh
dilupakan. Mappanre dewata (makan dalam kelambu) biasanya dilakukan 1 hari
sebelum prosesi pernikahan. Agar dalam
prosesi acara berjalan lancara selain itu juga memiliki tujuan yang lain.
Hal-hal yang harus
dipersiapakan dalam ritual Mappanre Dewata (makan dalam kelambu):
a. menggunakan
Ritual makan dalam
kelambu ini tidak boleh sembarangan kita laksanakan, dikarenakan banyak
pantangannya. Karena banyakde syaratnya antara lain : harus menggunakan
nasi ketan (pulut) dan harus 4 warna yaitu putih, merah hitam dan kuning dalam
1 piring, dan tidak boleh dibeda-bedakan piringnya. Menata nasi ketannya harus
berurutan putih, merah, kuning dan hitam. Di atas ketan tersebut harus ada
telur kampong rebus, menggunakan
ayam panggang 1 ekor, tetapi ayam tersebut tidak boleh sembarangan. Karena ayam
yang dipakai itu adalah ayam kampong yang jantan tidak boleh menggunakan ras
(betina). 1 sisir pisang dan pisang yang digunakan itu harus pisang khususnya
yaitu pisang berangan. Di dalam bakul terdapat/yang berisikan gabah (padi) dan
diletakkan di atas gabah tersebut 1 buah kelapa tua yang sudah di kupas
sabutnya.
Ditambah lagi peralatan
berupa lilin yang akan dinyalakan ketika ritual itu dilaksanakan. Adapun lilin
yang digunakan adalah lilin lebah dan 1 perangkat tempat sirih, pinang, kapur,
daun sirih, gambir dan tembakau, digunakan minyak baud an bereteh dan beras
kuning, yang akan digunakan apabila acara dilaksanakan. Pertama-tama seorang
pawing menyiapkan sesaji yang akan digunakan, sesaji tersebut misalnya yang
telah saya sebutkan diatas. Setelah sesaji itu dipersiapkan, lalu orang yang
melasanakan hajatan harus masuk di dalam kelambu tersebut bersama sesajinya dan
pawangnya. Di dalam kelambu tersebut tidak boleh ada cahaya yang masuk kecuali
lilin lebah, agar acara ritual tersebut akan lebih nikmat dan tenang.
Seorang pawing membacakan
mantra/doa-doa setelah itu minyak bau dilumuri di telinga, ubun-ubun, tenggorokan
dan pusar (pusat), diambil sedikit-sedikit nasi pulut yang 4 macam, disiapkan
bayang-bayangnya yang diberi makan. Maksudnya pawang memberi makan kepada ruh
yang melakukan hajatan. Langsung pawang itu menguapkan makanan serba
sedikit kepada yang melaksanakan makan dalam kelambu.
Setelah itu dikelilingkan diatas kepala lilin, orang yang makan dalam kelambu diatasnya sebanyak 3 kali putaran, 3 kali sebelah kanan, dan 3 kali sebelah kiri. Setelah itu dibacakan doa selamat kepada yang makan dalam kelambu. Habis itu lilinnya ditiup, sinar dari luar kelambu menyinari di dalam kelambu. Menandakan acara sudah selesai.
Setelah itu dikelilingkan diatas kepala lilin, orang yang makan dalam kelambu diatasnya sebanyak 3 kali putaran, 3 kali sebelah kanan, dan 3 kali sebelah kiri. Setelah itu dibacakan doa selamat kepada yang makan dalam kelambu. Habis itu lilinnya ditiup, sinar dari luar kelambu menyinari di dalam kelambu. Menandakan acara sudah selesai.
2. Nikah
1.
Mappenre
Botting
Merupakan kegiatan mengantar pengantin laki-laki
ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Di depan pengantin
laki-laki ada beberapa laki-laki tua berpakaian adat dan membawa keris.
Kemudian diikuti oleh sepasang remaja yang masing-masing berpakaian pengantin.
Lalu diikuti sekelompok bissu yang berpakaian adat pula berjalan sambil menari
mengikuti irama gendang. Lalu di belakangnya terdiri dari dua orang laki-laki
berpakaian tapong yang membawa gendang dan gong. Kemudian pengantin laki-laki
pada barisan beikutnya dengan diapit oleh dua orang passeppi dan satu bali
botting. Pakaian passeppi tidak sama warnanya dengan pakaian pengantin.
2. Madduppa botting
2. Madduppa botting
Diartikan menjemput kedatangan pengantin
laki-laki. Sebelum penganting laki-laki berangkat ke rumah perempuan, terlebih
dahulu rombongan tersebut menunggu penjemput dari pihak perempuan (biasanya
dibicarakan lebih dahulu sebagai suatu perjanjian). Bila tempat mempelai
perempuan jauh dari lokasi rumah laki-laki maka yang disepakati adalah jam tiba
di rumah perempuan. Rombongan penjemput tersebut menyampaikan kepada pihak
laki-laki bahwa pihak perempuan telah siap menerima kedatangan pihak laki-laki.
3. Akad Nikah
3. Akad Nikah
Orang bersiap melakukan akad nikah adalah bapak
atau wali calon mempelai perempuan atau imam kampung atau salah seorang yang
ditunjuk oleh Departemen Agama. Dua orang saksi dari kedua belah pihak.
4. Mappasikara'wa
4. Mappasikara'wa
Setelah akad nikah selesai maka dilanjutkan
dengan acara mappasiluka atau mappasikarawa. Acara ini merupakan kegiatan
mempertemukan mempelai laki-laki dengan pasangannya. Pengantin laki-laki
diantar oleh seseorang yang dituakan oleh keluarganya menuju kamar pengantin.
Kegiatan ini biasa disebut juga dengan mappalettu nikka.
Sering terjadi pintu kamar pemgantin perempuan,
sehingga untuk masuk dilakukan dulu dialog yang disertai dengan pemberian
kenang-kenangan berupa uang dari oarng yang mengantar pengantin laki-laki
sebagai pembuka pintu. Setiba di kamar, oleh orang yang mengantar menuntun pengantin
laki-laki untuk menyentuh bagian tertentu tubuh pengantin perempuan.
5. Maréllau Dampeng
5. Maréllau Dampeng
Setelah prosesi mappasiluka maka dilanjutkan
dengan acara memohon maaf kepada kedua orang tua pengantin perempuan dan
seluruh keluarga dekat yang sempat hadir pada akad nikah tersebut. Selesai
memohon maaf lalu kedua pengantin diantar menuju pelaiminan untuk bersanding
guna menerima ucapan selamat dan doa restu dari segenap tamu dan keluarga yang
hadir, biasanya acara ini dilanjutkan dengan resepsi di malam hari.
3. Tahapan
setelah menikah
1. Mapparola
Acara ini merupakan juga prosesi penting dalam
rangkaian perkawinan adat Bugis, yaitu kunjungan balasan dari pihak perempuan
kepada pihak lak-laki. Jadi merupakan sebuah kekurangan, apabila seorang
mempelai perempuan tidak diantar ke rumah orang tua mempelai laki-laki.
Kegiatan ini biasanya dilaksanakan sehari atau beberapa hari setelah upacara
akad nikah dilaksanakan. Kegiatan biasanya tidak dilakukan jika pernikahan
tidak mendapat restu dari orang tua pihak laki-laki.
Pada hari yang disepakati untuk proses
mapparola/marola (mammatoa) kedua belah pihak kemudian mengundang kembali
keluarga dan kaum kerabat untuk hadir dan meramaikan upacara mapparola.
Keluarga pihak perempuan mengundang beberapa
keluarga untuk turut mengantar kedua mempelai ke rumah orang tua pihak
laki-laki. Sedangkan pihak laki-laki mengundang beberapa keluarga dan kerabat
untuk menyambut kedatangan pihak perempuan. Kedua mempelai kembali dirias
seperti pada waktu akad nikah, lengkap pula dengan semua pengringnya, seperti
balibotting, passeppi, pembawa cerek, pembawa tombak, pembawa payung,
pembawalellu’, indo’ pasusu.
Apabila kedua mempelai beserta rombongan tiba di
hadapan rumah orang tua laki-laki maka disambut dengan wanita berpakaian waju
tokko hitam dengan menghamburkan wenno, sebagai pakkuru sumange’ (ucapan
selamat datang).
Dalam acara mapparola ini biasanya dilakukan juga makkasiwiang yaitu mempelai perempuan membawakan sarung untuk mertua/orang tua laki-laki beserta saudar-saudaranya. Hal ini dilakukan di kamar pengantin laki-laki. Pengantin perempuan diantar oleh indo’ botting untuk memberikan sarung sutera kepada orang tua dan saudara pengantin laki-laki. Di daerah Bugis biasanya pemberian ini akan dikembalikan lagi dengan ditambahkan pemberian dari mempelai laki-laki sesuai dengan kemampuan.
2. Marola wekka dua
Dalam acara mapparola ini biasanya dilakukan juga makkasiwiang yaitu mempelai perempuan membawakan sarung untuk mertua/orang tua laki-laki beserta saudar-saudaranya. Hal ini dilakukan di kamar pengantin laki-laki. Pengantin perempuan diantar oleh indo’ botting untuk memberikan sarung sutera kepada orang tua dan saudara pengantin laki-laki. Di daerah Bugis biasanya pemberian ini akan dikembalikan lagi dengan ditambahkan pemberian dari mempelai laki-laki sesuai dengan kemampuan.
2. Marola wekka dua
Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan
biasanya hanya bermalam satu malam saja dan sebelum matahari terbit kedua
mempelai kembali ke rumah mempelai perempuan.
3. Ziarah kubur
Meskipun banyak pihak mengatakan bahwa ziarah
kubur bukanlah merupakan rangaian dalam upacara perkawinan adat Bugis namun
sampai saat ini kegiatan tersebut masih sangat sering dilakukan karena
merupakan tradisi atau adat kebiasaan bagi masyarakat Bugis, yaitu lima harai
atau seminggu setelah kedua belah pihak melaksanakan upacara perkawinan.
4. Rekreasi
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bugis
bahwa setelah upacara perkawinan yang banyak menguras tenaga dan pemikiran maka
rombongan dari kedua belah pihak pergi rekreasi di suatu tempat.
3. Makna
dan Simbol
a. Makna
Makna adalah pertautan
yang ada dalam unsure-unsur bahasa itu sendiri, terutama pada tataran
kata-kata. Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar merupakan
kesepakatan para pemiliknya sehingga terkadang sulit dimengerti oleh orang
lain. Blumer mengatakan bahwa makna
adalah sebuah “produk sosial”,
yang artinya, dengan melakukan interaksi dengan individu lainnya, kita akan mendapatkan kesepahaman dengan individu yang lainnya,
sehingga kita dapat memperoleh sebuah makna dari sebuah symbol
tertentu.
Menurut Pateda (1986:
450) makna adalah apa yang kita artikan atau apa yang kita maksud. Sedangkan
Pradopo (1999: 121) mendefinisikan makna adalah tidak semata-mata merujuk pada
arti bahasanya tetapi arti bahasa dari sudut suasana dan perasaan. Dikemukakan
juga oleh Sudarna bahwa ada 3 keberadaan makna, yakni: (1) makna menjadi isi
suatu bentuk kebahasaan, (2) makna menjadi isi dari kebahasaan dan (3) makna
menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.
Aspek-aspek makna
Aspek-aspek makna
mengankat segala sesuatu yang terkandung dalam suatu makna. Mengenai aspek
makna. Pateda (2001: 88) menjelaskan bahwa yang termasuk aspek makna yaitu
sebagai berikut:
1. Pengertian
(sense)
Sense berarti hubungan
antara bahasa dan dunia kenyataan manusia. Banyak kata dalam sebuah bahasa
maknanya tidak bias diungkapkan secara mendalam karena suatu kata mempunyai
keterbatasan menjelaskan diri sendiri. Kondisi inilah yang sering melahirkan
diskomunikasi antara penerima pesan dengan pengirim pesan.
2. Nilai
Rasa (feeling)
Berbahasa pada dasarnya
berhubungan dengan perasaan. Artinya, pada saat kita mengucapkan kata-kata
mempunyai nilai rasa bagi orang yang menangkap pesan itu. Hal ini tergantung
dari pembicara dan pendengar dan kata-kata uang diujarkan.
3. Nada
(tone)
Nada dalam bahasa dapat
bermakna sikap/ tinggi rendahnya suara dalam menyampaikan informasi. Aspek
makna jenis ini lebih banyak dinyatakan oleh hubungan antara pembicara dengan
pendengar, antara penulis dengan pembaca. Hubungan tersebut menentukan sikap
yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan sehingga muncullah yang disebut
nilai rasa.
4. Maksud
(intention)
Aspek makna tersebut
merupakan maksdu senang/ tidak senang/ efek usaha keras yang dilaksanakan
(Shipley dalam pateda, 2001: 95). Biasanya ketika menyatakan sesuatu ada maksud
yang diinginkan.
b. Simbol
1. Pengertian
simbol
Kata simbol berasal
dari kata Yunani, yaitu symbolos yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Roland Barthers mengemukakan bahwa
secara umum segala sesuatu signifikan adalah sebuah tanda yang diciptakan untuk
menyampaikan suatu informasi, atau pesan, atau arti tertentu. Sementara dalam
hal simbol, Doede Nauta berpendapat bahwa setiap tanda (melalui suatu yang
khusus) yang menentukan isi komunikasi antar manusia berdasarkan konvensi,
adalah simbol (Said, 2004: 5). Sedangkan menurut peirce dalam Suwardi
(1839-1914) simbol yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang
ditandakan bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial
tertentu.
2. Victor
Turner
(Turner dalam Suwardi
1982: 19) mengemukakan bahwa “the symbol
is the small unit of ritual which still
retains the specific propesties of ritual behavior. It is the ultimate unit of
specific sturucture in a ritual context”. Simbol adalah unit (bagian)
terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang
bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus
dalam konteks ritual. Pada bagian lain Turner juga menyatakan bahwa “the ritual
is an aggregation of symbols” senada dengan itu, Radcliffe-Brown dalam Suwardi
(1979: 155-177) mengatakan jika tindakan ritual banyak mengunkapkan simbol,
berarti analisis ritual juga harus diarahkan pada simbol-simbol ritual
tersebut.
Berdasarkan pernyataan
tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan bagian terkecil dari ritual
yang menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam upacara
ritual yang bersifat khas. Menurut (Spradley dalam Suwardi 1997: 121) simbol
adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Simbol adalah
suatu tanda yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah mendapatkan
persetujuan umum dalam tingkah laku ritual.
Sehubungan dengan hal itu, Turner (Winagun, 1900: 19)
mengetengahkan cirri khas simbol, yaitu:
a. Multivokal,
artinya simbol memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal, pribadi dan
fenomena. Hal ini menunjukkan betapa kaya makna symbol ritual.
b. Polarisasi
simbol
Simbol yang memiliki
banyak arti, terkadang bertentangan
c. Unifikasi, memiliki arti terpisah
Turner dalam Suwardi (1967: 9) juga
mensugestikan bahwa melalui analisis symbol ritual akan membantu menjelaskan
secara benar nilai yang ada dalam masyarakat dan akan menghilangkan
keragu-raguan tentang kebenaran sebuah penjelasan
Menurut
Turner,dalam menganalisis makna simbol dalam aktivitas ritual, menggunakan
teori penafsiran, yaitu sebagai berikut:
1. Exegetical meaning,
makna yang diperoleh dari informan warga setempat tentang
prilaku ritual yang diamati. Dalam hal ini, perlu dibedakan antara informasi
yang diberikan oleh informan awam dan pakar, antara interpretasi esoterik dan
eksoterik. Seorang peneliti juga harus tahu pasti apakah penjelasan yang
diberikan informan itu benar-benar representatife atau hanya penjelasan dari
pandangan pribadi yang unik.
2. Operatioanal meaning
makna yang diperoleh tidak terbatas pada perkataan
informan, melainkan dari tindakan yang dilakukan dalam ritual. Dalam hal ini
perlu diarahkan pada informasi tingkat masalah dinamika social. Pengamat
seharusnya tidak hanya mempertimbangkan symbol tetapi sampai pada interpretasi
struktur dan susunan masyarakat yang menjalankan ritual. Dalam hal ini perlu
diarahkan pada informasi pada tingkat masalah dinamika sosial. Pengamat
seharusnya tidak hanya mempertimbangkan simbol tetapi sampai pada interpretasi
struktur dan susunan masyarakat yang menjalankan ritual. Apakah penampilan dan
kualitas afektif informan seperti sikap agresif, sedih, menyesal, mengejek,
gembira, dan sebagainya langsung merujuk pada simbol ritual.
3. Positional meaning
makna yang diperoleh melalui interpretasi terhadap symbol
dalam hubungannya dengan symbol lain secara totalitas. Tingkatan makna ini
langsung dihubungkan pada pemilik sombol ritual. Pendek kata, makna suatu
symbol ritual harus ditafsirkan ke dalam konteks simbol yang lain dari
pemiliknya.
Ketiga dimensi penafsiran makna tersebut, saling
lengkap-melengkapi dalam proses pemaknaan symbol ritual. No (1) mendasarkan
wawancara kepada informan setempat, (2) lebih menekankan pada tindakan ritual
dalam kaitannya dengan struktur dinamika social, (3) mengarah pada hubungan
konteks antara symbol dengan pemiliknya.
Terkait dengan teori yang dikemukakan Victor Turner maka teori inilah yang digunakan oleh peneliti
untuk mengkaji makna simbol yang terkandung dalam ritual “Mappanre Dewata” pada
prosesi perkawinan di Kabupaten Wajo.
4. Identifikasi
wilayah penelitian
III. METODE PENELITIAN
A.
Variabel
dan Desain Penelitian
1.
Variabel
Penelitian
Variable dalam
penelitian ini menggunakan variable tunggal yaitu makna simbolik dalam ritual
“Mappanre Dewata” pada prosesi perkawinan adat bugis di daerah Kabupaten Wajo.
2.
Desain
Penelitian
Penelitian ini termasuk
deskriptif kualitatif, yaitu mengungkapkan/ mendekskripsikan objek penelitian, yaitu makna simbolik dalam
ritual “Mappanre Dewata” pada prosesi perkawinan adat bugis di daerah kabupaten
Wajo
B.
Definisi
Operasional Variabel
Untuk
memperoleh gambaran yang jelas dan terarah tentang variable yang diteliti, maka
perlu diadakan pembatasan variabel. Makna simbolik dalam ritual “Mappanre
Dewata” pada prosesi perkawinan adat bugis, adalah mengunkap segala makna yang
berupa simbol dalam aktifitas ritual tersebut.
C.
Penentuan
Lokasi penelitian
D.
Data
dan Sumber Data
1. Data
Data adalah segala
keterangan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian (Amirin
dalam Suwandi, 2003: 130). Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data lisan
yang diperoleh dari informan, yaitu tokoh adat dan penghulu yang ada di
Kabupaten Wajo.
2. Sumber
data
Sumber data dalam
penelitian adalah subjek dari data yang diperoleh. Sumber data yang dimaksud
disini adalah para informan. Penentuan informan ini menggunakan konsep Spradley
(1997:61) dan Bernard (1994: 166), yaitu seorang informan harus paham terhadap
budaya yang dibutuhkan. Penentuan informan menggunakan teknik snowballing, yaitu berdasarkan informasi
informan sebelumnya untuk mendapatkan informan selanjutnya sampai mendapatkan
data jenuh.
E.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik
pengunpulan data adalah cara yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan
data yang berhubungan dengan penelitian.
1. Pengamatan
langsung, dengan cara peneliti mengamati secara langsung proses pernikahan
dalam hal ini “Mappanre Dewata”.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan
sebelum dan sesudah pelaksanaan ritual “Mappanre Dewata”. Wawabcara dilakukan
secara langsung kepada informan, peneliti menentukan topik beserta dengan
cakupan penelitian.
3. Teknik
pencatatan, peneliti mencatat semua hal yang berhubungan dengan makna simbolik
dalam ritual mappanre dewata yang diperoleh dari informan.
F.
Teknin
Analisis Data
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
__________adat Istiadat Suku
Bugis, (on line),(http://whandi.net/adat-istiadat-bugis-suku
bugis.html, diakses 3 Desember 2010).
Jemmi, Susma. 2000. Makna
Simbol Dalam Prosesi Adat Mappacci Pada Masyarakat Bugis Kabupaten Sidrap.
Skripsi. Makassar: FBS UNM
________________,
(online), (http://www.scribd.com/doc/29474385/antropologi,
diakses 5 Desember 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar