Selasa, 19 Maret 2013

MAKNA SIMBOL DALAM TRADISI PERNIKAHAN SUKU BUGIS


Judul: Makna Simbolik Dalam Ritual “Mappanre Dewata” Pada Prosesi Perkawinan di Kabupaten Wajo (Kajian semiotika)
I.       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun sederhana, memiliki kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Kebudayaan merupakan hasil segala akal dan pikiran manusia yang teritegrasi ke dalam prilaku-prilaku masyarakat yang biasanya diwariskan secara turun temurun.
Masyarakat provinsi Sulawesi Selatan terdiri atas berbagai macam etnis dan suku, dan masing-masing memilki keragaman budaya yang berbeda-beda. Di dalam kehidupan masyarakat bugis di Sulawesi Selatan khususnya di Wajo, dikenal istilah “pangadereng” (adat istiadat). Pangadereng ini adalah perwujudan bentuk dari kebudayaan masyarakat.
Salah satu bentuk dari pangadereng (adat istiadat) dari kehidupan masyarakat bugis Wajo adalah abottingeng (perkawinan). Perkawinan ini merupakan bagian yang sangat integral dari kebudayaan masyarakat bugis yang di dalamnya berisi nilai-nilai budaya. Nilai budaya itulah yang ditampilkan dalam upacara ritual yang penuh dengan makna symbol.
Sebagai salah satu bentuk tradisi dalam kehidupan masyarakat bugis di kabupaten Wajo, apabila seseorang ingin melaksanakan upacara pernikahan biasanya diadakan upacara ritual “Mappanre Dewata” yaitu salah satu bagian dari tahapan atau proses yang dilaksanakan sebelum memasuki acara pernikahan.
“Mappanre Dewata” merupakan sebuah tradisi dalam kehidupan masyarakat bugis, yaitu salah satu bentuk ritual yang biasanya dilakukan pada malam hari, sehari sebelum prosesi perkawinanan. “Mappanre Dewata ini dilakukan dengan tujuan untuk mempertemukan jiwa (diri) mempelai wanita kepada tuhan sang pencipta, selain itu untuk dijauhkan dari berbagai macam kesulitan nantinya setelah berumah tangga.
 Mappanre dewata” dalam tradisi ritual bugis dilakukan oleh seorang sangro (dukun) yang berperan sebagai pabbaca-baca doang (pengucap mantra), Biasanya mappanre dewata ini atau dikenal dengan istilah makan dalam kelambu dilaksanakan di dalam kamar. Terserah dimana letak kamar tersebut. Jika orang yang melakukan ritual ini tidak mempunyai ruangan yang tepat/ tidak mempunyai kamar, tidak apa-apa yang lebih penting orang tersebut harus mempunyai kelambu. menggunakan pelleng (lilin), dan sesajen. Secara keseluruhan semua komposisi itu memilki makna tersendiri  yang sampai sekarang ini masih dijumpai dan dilaksanakan oleh setiap orang yang akan melansungkan pernikahan.
Penelitian tentang makna simbolik pernah dilakukan sebelumnya oleh Mirwaty dengan judul Makna Simbol Dalam Acara Mappacci Pada Upacara Perkawinan Adat Bugis di Soppeng. Perbedaan dalam penelitian ini, peneliti sebelumnya berfokus pada prosesi Mappacci sedangkan pada penelitian ini berfokus pada ritual Mappanre Dewata dengan menggunakan kajian semiotika.
Berdasar dari asumsi diatas maka penulis ingin mengkaji bagaimana makna simbolik dalam ritual “Mappanre Dewata” pada prosesi perkawian di kabupaten wajo dengan kajian semiotika.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana pendekskripsian makna yang disimbolkan dalam ritual “Mappanre Dewata” pada prosesi perkawinan adat di kabupaten Wajo?
C.    Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendekskripsikan bentuk-bentuk makna simbolik dalam ritual “Mappanre Dewata” pada prosesi perkawinan adat di Kabupaten Wajo. 
D.    Manfaat penelitian 
1.      Manfaat teoreti
Manfaat teoretis dalam penelitian ini adalah melestarikan nilai-nilai kebudayaan dalam perkawinan adat
bugis di Kabupaten Wajo 
  Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah sebagai bahan informasi kepada masyarakat, khususnya
mahasiswa dalam rangka menambah pengetahuan.

II.    TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A.    Tinjauan Pustaka 
  Adat istiadat
Istilah tradisi dapat dimaknai sebagai warisan. Selain itu, istilah tradisi diartikan sebagai kebiasaan yang
turun temurun dalam masyarakat. Sifatnya sangat luas, meliputi segala kompleks kehidupan sehingga
sukar disisihkan dalam pencarian yang tetap dan pasti (Priyanto, 1992: 15). 
 Kata tradisi mengandung arti, sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada
norma dan adat kebiasaan yang secara turun temurun. Sejalan dengan pendapat (Muliono dalam Priyanto
yang mengemukakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang berkembang dalam masyarakat luas serta
mengakui pola-pola secara turun-temurun dan cenderung memperhatikan kemurnian sebagai warisa
Masyarakat Bugis merupakan masyarakat yang sarat dengan prinsip dan nilai-nilai adat dan ajaran agama
di dalam menjalankan kehidupan mereka. Mereka yang mampu memegang teguh prinsip-prinsip tersebut
adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang dapat memberikan keteladanan dan membawa norma
dan aturan sosial.
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain. Dalam pangadereng (adat istiadat bugis) terdiri atas 5 unsur pokok yang membangunnya yaitu: (1) ade’, aspek pangadereng yang mengatur pelaksanaan sistem norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan orang bugis, (2) bicara, semua keadaan yang berkaitan dengan masalah peradilan. (3) rapang, yaitu contoh, misal, ibarat atau perumpamaan, persamaan/ kias. (4) wari, penjenisan yang membedakan saru dengan yang lain, suatu perbuatan yang selektif menata atau menertibkan. (5) siri’, yaitu daya pendorong untuk melenyapkan dan untuk membunuh, mengasingkan, mengusir kepada siapa yang menyinggung perasaan (Mattulada, 1985).
Kelima unsur pangadereng tersebut saling berkaitan sebagai kesatuan organis dalam pikiran dan jiwa masyarakat bugis. Seluruh aspek pangadereng tersebut memberikan ajaran moralitas yang membentuk prilaku seluruh masyrakat baik yang bersifat pribadi maupun kelompok.
2.      Upacara perkawinan
a.       Pengertian perkawinan
Perkawinan merupakan bagian yang sangat integral dalam sisi kehidupan manusia. Telah menjadi kodratnya oleh sang pencipta bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan.
Secara etimologi, perkawinan berasala dari kata “nikah” yang mendapat imbuhan/ awalan per dan akhiran an yang mengandung pengertian sesuatu yang menunjukkan hal ikatan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama (Soekanto, 1976: 2).
            Penegasan tentang perkawinan itu sendiri menurut UU RI No.1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahma. Bentuk perkawinan dilakukan berdasarkan aturan atau kepercayaan yang berlaku pada daerah tertentu dan dianggap sah apabila dilakukan dengan aturan-aturannya.
            Perkawinan adat adalah salah satu bentuk budaya local yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Bentuk budaya lokal ini memiliki perbedaan dan keunikan pada komunitas masyarakat tertentu. Hal ini bias terlihat pada tata cara pelaksanaannya, begitupula pada simbol-simbol yang muncul dari budaya tersebut.
b.      Jenis-jenis perkawinan
Apabila menelusuri proses perkawinan dikalangan masyrakat bugis, maka dikenal beberapa jenis perkawinan yaitu sebagai berikut:
1.      Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (massuro)
Perkawinan jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi masyrakat bugis yang bersifat umum, baik dari golongan bangsawan maupun masyrakat biasa. Perbedaanya hanya dari tata pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui proses yang panjang dengan upacara adat tertentu, sedangkan masyrakat awam berdasarkan kemampuan yang dilaksanakan secara sederhana.
2.      Perkawinan silariang (kawin lari)
Perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapi kedua belah pihak melakukan mufakat untuk lari dari rumah penghulu atau kepala kampong untuk mendapatkan perlindungan dan selanjutnya diurus untuk dinikahkan.
Dalam masyarakat bugis peristiwa silariang (melarikan diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan yang mengakibatkan “siri” bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa semacam ini bagi pihak perempuan yang disebut “tomasiri” selalu berusaha untuk menegakkan harga diri atau “siri” dengan cara membunuh laki-laki yang melarikan anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat, apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi. Penghulu atau anggota adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya.
Untuk maksud tersebut diatas diadakanlah komunikasi kepada orang tua perempuan (to masiri) untuk dimintai persetujuannya tetapi sering juga terjadi orang tua dan keluarga pihak perempuan tidak mau memberi persetujuannya, karena merasa dipermalukan (ri pakasiri). Bahkan orang tua yang dipermalukan (ri pakasiri) itu menganggap anaknya yang dilarikan itu telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui sebagai anaknya (massakkarengngi ana’na). apabila hal ini terjadi maka jalan lain yang ditempuh adalah pihak adat atau penghulu menikahkannya dengan istilah wali-hakim.
Akan tetapi walaupun keduanya telah dinikahkan, hubungan antara keluarga laki-laki dan perempuan tetap berbahaya. Oleh karena itu, selama keduanya belum diterima kembali untuk rujuk yang disebut “madeceng” (meminta maaf) maka laki-laki yang membawa lari gadis tersebut tetap berhati-hati dan berupaya menghindar untuk bertemu orang tua dan keluarga pihak perempuan.
3.       Perkawinan menurut usia
Telah diketahui bahwa usia perkawinan diatur dalam Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar kedua calon mempelai tersebut memiliki kematangan dalam berumah tangga, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari suatu perkawianan yaitu mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Dahulu, usia perkawinan tidak ada pembatasan sehingga sering terjadi anak dibawah umur dinikahkan (botting ‘ana-ana’). Tetapi mereka berdua tetap tinggal di rumah orang tua masing-masing. Ketika keduanya telah aki-baliq (menanjak dewasa) barulah dipertemukan untuk hidup sebagai suami istri. Hal ini masih berlaku hingga akhir abad ke-19.
4.      Perkawinan yang dilarang
Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat bugis/ Makassar melarang perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat, seperti:
a.       Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/ nenek) baik melalui ayah atau ibu.
b.      Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya (anak/ cucu/ cicit) termasuk keturunan anak wanita.
c.       Deorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturuan ayah atau ibu (saudara kandung/ anak dari saudara kandung)
d.      Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara yang menurunkan (saudara kandung ayah/ saudara kandung ibu/ saudara kakek atau nenek baik dari ayah maupun dari ibu.
Dari hal tersebut, berarti seorang pria dilarang kawin dengan seorang wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah tanpa batas, apabila hal ini terjadi maka oleh masyarakat bugis menganggnya peristiwa “malaweng” (perbuatan haram menurut islam).
c.       Tahap-tahap perkawinan
Adapaun tahap dari proses perkawinan adat bugis secara umum dapat dibagi atas 3 tahapan yaitu sebagai berikut:
1.      Tahapan pra nikah
a.       Madduta/ lao lettu
Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta perkawinan (mappabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia lahir) maka keluarganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki akan diteliti secara saksama untuk mengetahui apakah status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak, jangan sampai tingkatan pelamar lebih rendah daripada perempuan yang akan dilamar.
Madduta artinya meminang secara resmi, dahulu kala dilakukan beberapa kali, sampai ada kata sepakat. Namun, secara umum proses yang ditempuh sebelum meminang adalah menentukan besarnya “sompa” yaitu, mas kawin atau mahar sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Besarnya sompa telah ditentukan menurut golongan atau tingkatan derajat gadis. Penggolongan sompa tidaklah selalu sama dengan pengistilahnnya ada dalam bentuk uang “real” adapula dalam bentuk “kati”.  
b.      Ma’pisseng/ ma’tale unda’ngeng/ atau memberi kabar
Setelah kegiatan madduta atau peminangan telah selesai, dan menghasilkan kesepakatan. Maka kedua belah pihak keluarga calon mempelai akan menyampaikan kabar
c.       Mappalettu selling
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari proses sebelumnya yaitu mappaisseng, dan biasanya pihak keluarga calon mempelai akan mengundang seluruh sanak saudara dan handai taulan. Undangan tertulis ini dilaksanakan kira-kira 10 atau 1 minggu sebelum resepsi perkawinan dilangsungkan.
Kegiatan ini disebut juga mappalettu selleng karena diharapkan pihak yang diundang akan merasa dihargai bila para pembawa undangan ini menyampaikan salam dan harapan dari pihak yang mengundang kiranya bersedia datang untuk memberi restu.
d.      Ma’sarapo/ baruga
Sarapo atau baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan di samping kiri/kanan rumah yang akan ditempati melaksanakan akad nikah. Sedangkan baruga adalah bangunan terpisah dari rumah yang ditempati bakal pengantin dan dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam yang disebut wlsuji “walasuji”. Di dalam sarapo atau baruga dibuatkan pula tempat yang khusus bagi pengantin dan kedua orang tua mempelai yang disebut lmi “lamming”. Tetapi akhir-akhir ini masyarakat Bugis sudah jarang lagi mendirikan sarapo oleh karena sudah ada beberapa gedung atau tenda yang dipersewakan lengkap dengan peralatannya, namun kadang pula masih ada yang melaksanakan terutama bagi kalangan bangsawan dan orang berada.
e.       Ma’pacci,mappatemme al-quran, mappanre dewata/ tudang penni
·         Mappacci
Upacara adat mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni, menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar (Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan barazanji. Daun pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang makananya adalah kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappacci mengandung makna akan kebersihan raga dan kesucian jiwa.

Sebelum acara mappacci dimulai, biasanya dilakukan padduppa (penjemputan) mempelai. Calon mempelai dipersilakan oleh Protokol atau juru bicara keluarga.
Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan. Pelaminan di sisi para pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain. Mereka duduk bersuka ria di malam tudampenni, mappacci pada sang raja/ratu mempelai nan rupawan. Tuntunlah dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan yang bertahtakan emas.
Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti makna simbolis seperti:
a.          Sebuah bantal atau pengalas kepala yang diletakkan di depan calon pengantin, yang memiliki makna penghormatan atau martabat, kemuliaan dalam bahasa Bugis berarti mappakalebbi.
b.         Sarung sutera 7 lembar yang tersusun di atas bantal yang mengandung arti harga diri.
c.          Di atas bantal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan yang berkesinambungan dan lestari.
Penggunaan pacci ini menandakan bahwa calon mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh akad nikah keesokan harinya dan kehidupan selanjutnya sebagai sepasang suami istri hingga ajal menjemput. Daunpacar atau pacci yang telah dihaluskan ini disimpan dalam wadah bekkeng sebagai permaknaan dari kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masayarakat.
Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya.
·         Mappanre Dewata (makan dalam kelambu)
Prosesi makan dalam kelambu (Mappanre Dewata) ini sudah turun temurun dari nenek moyang suku bugis, biasanya ritual ini dilakukan pada waktu ada hajatan perkawinan, tetapi bias jiga dilkukan apabila ada hajatan yang lain, misalnya khitanan (sunatan), naik ayun (naek tojang). Namun, dalam hal ini peneliti hanya berfokus pada ritual mappanre dewata pada prosesi perwawinan. Ritual makan dalam kelambu ini biasanya orang yang terlibat seperti : pawang/ dukun (sangro), orang yang melakukan hajatan (calon pengantin)
Pawang disini maksudnya orang yang membacanya doa-doa atau yang melaksanakan ritual tersebut. Pawang tersebut tidak boleh sembarangan, dia harus sudah menguasai mantra-mantranya atau doa-doa tersebut, dan biasanya pawang tersebut sudah turun-temurun, yang melaksanakannya, atau yang lebih tepat orang yang sudah ahli.
Biasanya prosesi makan dalam kelambu dilaksanakan di dalam kamar. Terserah dimana letak kamar tersebut. Jika orang yang melakukan hajatan tidak mempunyai ruangan yang tepat/ tidak mempunyai kamar, tidak apa-apa yang lebih penting orang tersebut harus mempunyai kelambu. Dan kelambu tersebut harus dipasang. Boleh dipakai pangkeng (tempat tidur yang pakai besi) boleh juga tidak. Harus dipakai kelambu ini wajib, karenakan inilah alat-alat dalam makan kelambu yang tidak boleh dilupakan. Mappanre dewata (makan dalam kelambu) biasanya dilakukan 1 hari sebelum prosesi pernikahan.  Agar dalam prosesi acara berjalan lancara selain itu juga memiliki tujuan yang lain.
Hal-hal yang harus dipersiapakan dalam ritual Mappanre Dewata (makan dalam kelambu):
a.       menggunakan
Ritual makan dalam kelambu ini tidak boleh sembarangan kita laksanakan, dikarenakan banyak pantangannya. Karena banyakde syaratnya antara lain : harus menggunakan nasi ketan (pulut) dan harus 4 warna yaitu putih, merah hitam dan kuning dalam 1 piring, dan tidak boleh dibeda-bedakan piringnya. Menata nasi ketannya harus berurutan putih, merah, kuning dan hitam. Di atas ketan tersebut harus ada telur kampong rebus, menggunakan ayam panggang 1 ekor, tetapi ayam tersebut tidak boleh sembarangan. Karena ayam yang dipakai itu adalah ayam kampong yang jantan tidak boleh menggunakan ras (betina). 1 sisir pisang dan pisang yang digunakan itu harus pisang khususnya yaitu pisang berangan. Di dalam bakul terdapat/yang berisikan gabah (padi) dan diletakkan di atas gabah tersebut 1 buah kelapa tua yang sudah di kupas sabutnya.
Ditambah lagi peralatan berupa lilin yang akan dinyalakan ketika ritual itu dilaksanakan. Adapun lilin yang digunakan adalah lilin lebah dan 1 perangkat tempat sirih, pinang, kapur, daun sirih, gambir dan tembakau, digunakan minyak baud an bereteh dan beras kuning, yang akan digunakan apabila acara dilaksanakan. Pertama-tama seorang pawing menyiapkan sesaji yang akan digunakan, sesaji tersebut misalnya yang telah saya sebutkan diatas. Setelah sesaji itu dipersiapkan, lalu orang yang melasanakan hajatan harus masuk di dalam kelambu tersebut bersama sesajinya dan pawangnya. Di dalam kelambu tersebut tidak boleh ada cahaya yang masuk kecuali lilin lebah, agar acara ritual tersebut akan lebih nikmat dan tenang.
Seorang pawing membacakan mantra/doa-doa setelah itu minyak bau dilumuri di telinga, ubun-ubun, tenggorokan dan pusar (pusat), diambil sedikit-sedikit nasi pulut yang 4 macam, disiapkan bayang-bayangnya yang diberi makan. Maksudnya pawang memberi makan kepada ruh yang melakukan hajatan. Langsung  pawang itu menguapkan makanan serba sedikit kepada yang melaksanakan makan dalam kelambu.
Setelah itu dikelilingkan diatas kepala lilin, orang yang makan dalam kelambu diatasnya sebanyak 3 kali putaran, 3 kali sebelah kanan, dan 3 kali sebelah kiri. Setelah itu dibacakan doa selamat kepada yang makan dalam kelambu. Habis itu lilinnya ditiup, sinar dari luar kelambu menyinari di dalam kelambu. Menandakan acara sudah selesai.
2.      Nikah
1.      Mappenre Botting
Merupakan kegiatan mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Di depan pengantin laki-laki ada beberapa laki-laki tua berpakaian adat dan membawa keris. Kemudian diikuti oleh sepasang remaja yang masing-masing berpakaian pengantin. Lalu diikuti sekelompok bissu yang berpakaian adat pula berjalan sambil menari mengikuti irama gendang. Lalu di belakangnya terdiri dari dua orang laki-laki berpakaian tapong yang membawa gendang dan gong. Kemudian pengantin laki-laki pada barisan beikutnya dengan diapit oleh dua orang passeppi dan satu bali botting. Pakaian passeppi tidak sama warnanya dengan pakaian pengantin.
2. Madduppa botting
Diartikan menjemput kedatangan pengantin laki-laki. Sebelum penganting laki-laki berangkat ke rumah perempuan, terlebih dahulu rombongan tersebut menunggu penjemput dari pihak perempuan (biasanya dibicarakan lebih dahulu sebagai suatu perjanjian). Bila tempat mempelai perempuan jauh dari lokasi rumah laki-laki maka yang disepakati adalah jam tiba di rumah perempuan. Rombongan penjemput tersebut menyampaikan kepada pihak laki-laki bahwa pihak perempuan telah siap menerima kedatangan pihak laki-laki.
3. Akad Nikah
Orang bersiap melakukan akad nikah adalah bapak atau wali calon mempelai perempuan atau imam kampung atau salah seorang yang ditunjuk oleh Departemen Agama. Dua orang saksi dari kedua belah pihak.
4. Mappasikara'wa
Setelah akad nikah selesai maka dilanjutkan dengan acara mappasiluka atau mappasikarawa. Acara ini merupakan kegiatan mempertemukan mempelai laki-laki dengan pasangannya. Pengantin laki-laki diantar oleh seseorang yang dituakan oleh keluarganya menuju kamar pengantin. Kegiatan ini biasa disebut juga dengan mappalettu nikka.
Sering terjadi pintu kamar pemgantin perempuan, sehingga untuk masuk dilakukan dulu dialog yang disertai dengan pemberian kenang-kenangan berupa uang dari oarng yang mengantar pengantin laki-laki sebagai pembuka pintu. Setiba di kamar, oleh orang yang mengantar menuntun pengantin laki-laki untuk menyentuh bagian tertentu tubuh pengantin perempuan.
5. Maréllau Dampeng
Setelah prosesi mappasiluka maka dilanjutkan dengan acara memohon maaf kepada kedua orang tua pengantin perempuan dan seluruh keluarga dekat yang sempat hadir pada akad nikah tersebut. Selesai memohon maaf lalu kedua pengantin diantar menuju pelaiminan untuk bersanding guna menerima ucapan selamat dan doa restu dari segenap tamu dan keluarga yang hadir, biasanya acara ini dilanjutkan dengan resepsi di malam hari.
3.      Tahapan setelah menikah
1. Mapparola
Acara ini merupakan juga prosesi penting dalam rangkaian perkawinan adat Bugis, yaitu kunjungan balasan dari pihak perempuan kepada pihak lak-laki. Jadi merupakan sebuah kekurangan, apabila seorang mempelai perempuan tidak diantar ke rumah orang tua mempelai laki-laki. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan sehari atau beberapa hari setelah upacara akad nikah dilaksanakan. Kegiatan biasanya tidak dilakukan jika pernikahan tidak mendapat restu dari orang tua pihak laki-laki.
Pada hari yang disepakati untuk proses mapparola/marola (mammatoa) kedua belah pihak kemudian mengundang kembali keluarga dan kaum kerabat untuk hadir dan meramaikan upacara mapparola.
Keluarga pihak perempuan mengundang beberapa keluarga untuk turut mengantar kedua mempelai ke rumah orang tua pihak laki-laki. Sedangkan pihak laki-laki mengundang beberapa keluarga dan kerabat untuk menyambut kedatangan pihak perempuan. Kedua mempelai kembali dirias seperti pada waktu akad nikah, lengkap pula dengan semua pengringnya, seperti balibotting, passeppi, pembawa cerek, pembawa tombak, pembawa payung, pembawalellu’, indo’ pasusu.
Apabila kedua mempelai beserta rombongan tiba di hadapan rumah orang tua laki-laki maka disambut dengan wanita berpakaian waju tokko hitam dengan menghamburkan wenno, sebagai pakkuru sumange’ (ucapan selamat datang).
Dalam acara mapparola ini biasanya dilakukan juga makkasiwiang yaitu mempelai perempuan membawakan sarung untuk mertua/orang tua laki-laki beserta saudar-saudaranya. Hal ini dilakukan di kamar pengantin laki-laki. Pengantin perempuan diantar oleh indo’ botting untuk memberikan sarung sutera kepada orang tua dan saudara pengantin laki-laki. Di daerah Bugis biasanya pemberian ini akan dikembalikan lagi dengan ditambahkan pemberian dari mempelai laki-laki sesuai dengan kemampuan.
2. Marola wekka dua
Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan biasanya hanya bermalam satu malam saja dan sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali ke rumah mempelai perempuan.
3. Ziarah kubur
Meskipun banyak pihak mengatakan bahwa ziarah kubur bukanlah merupakan rangaian dalam upacara perkawinan adat Bugis namun sampai saat ini kegiatan tersebut masih sangat sering dilakukan karena merupakan tradisi atau adat kebiasaan bagi masyarakat Bugis, yaitu lima harai atau seminggu setelah kedua belah pihak melaksanakan upacara perkawinan.
4. Rekreasi
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bugis bahwa setelah upacara perkawinan yang banyak menguras tenaga dan pemikiran maka rombongan dari kedua belah pihak pergi rekreasi di suatu tempat.
3.      Makna dan Simbol
a.       Makna
Makna adalah pertautan yang ada dalam unsure-unsur bahasa itu sendiri, terutama pada tataran kata-kata. Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar merupakan kesepakatan para pemiliknya sehingga terkadang sulit dimengerti oleh orang lain. Blumer mengatakan bahwa makna adalah sebuah “produk sosial”, yang artinya, dengan melakukan interaksi dengan individu lainnya, kita akan mendapatkan kesepahaman dengan individu yang lainnya, sehingga kita dapat memperoleh sebuah makna dari sebuah symbol tertentu.
Menurut Pateda (1986: 450) makna adalah apa yang kita artikan atau apa yang kita maksud. Sedangkan Pradopo (1999: 121) mendefinisikan makna adalah tidak semata-mata merujuk pada arti bahasanya tetapi arti bahasa dari sudut suasana dan perasaan. Dikemukakan juga oleh Sudarna bahwa ada 3 keberadaan makna, yakni: (1) makna menjadi isi suatu bentuk kebahasaan, (2) makna menjadi isi dari kebahasaan dan (3) makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.
Aspek-aspek makna
Aspek-aspek makna mengankat segala sesuatu yang terkandung dalam suatu makna. Mengenai aspek makna. Pateda (2001: 88) menjelaskan bahwa yang termasuk aspek makna yaitu sebagai berikut:
1.      Pengertian (sense)
Sense berarti hubungan antara bahasa dan dunia kenyataan manusia. Banyak kata dalam sebuah bahasa maknanya tidak bias diungkapkan secara mendalam karena suatu kata mempunyai keterbatasan menjelaskan diri sendiri. Kondisi inilah yang sering melahirkan diskomunikasi antara penerima pesan dengan pengirim pesan.
2.      Nilai Rasa (feeling)
Berbahasa pada dasarnya berhubungan dengan perasaan. Artinya, pada saat kita mengucapkan kata-kata mempunyai nilai rasa bagi orang yang menangkap pesan itu. Hal ini tergantung dari pembicara dan pendengar dan kata-kata uang diujarkan.
3.      Nada (tone)
Nada dalam bahasa dapat bermakna sikap/ tinggi rendahnya suara dalam menyampaikan informasi. Aspek makna jenis ini lebih banyak dinyatakan oleh hubungan antara pembicara dengan pendengar, antara penulis dengan pembaca. Hubungan tersebut menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan sehingga muncullah yang disebut nilai rasa.
4.      Maksud (intention)
Aspek makna tersebut merupakan maksdu senang/ tidak senang/ efek usaha keras yang dilaksanakan (Shipley dalam pateda, 2001: 95). Biasanya ketika menyatakan sesuatu ada maksud yang diinginkan.
b.      Simbol
1.      Pengertian simbol
Kata simbol berasal dari kata Yunani, yaitu symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Roland Barthers mengemukakan bahwa secara umum segala sesuatu signifikan adalah sebuah tanda yang diciptakan untuk menyampaikan suatu informasi, atau pesan, atau arti tertentu. Sementara dalam hal simbol, Doede Nauta berpendapat bahwa setiap tanda (melalui suatu yang khusus) yang menentukan isi komunikasi antar manusia berdasarkan konvensi, adalah simbol (Said, 2004: 5). Sedangkan menurut peirce dalam Suwardi (1839-1914) simbol yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu.
2.      Victor Turner
(Turner dalam Suwardi 1982: 19) mengemukakan bahwa “the symbol is the  small unit of ritual which still retains the specific propesties of ritual behavior. It is the ultimate unit of specific sturucture in a ritual context”. Simbol adalah unit (bagian) terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus dalam konteks ritual. Pada bagian lain Turner juga menyatakan bahwa “the ritual is an aggregation of symbols” senada dengan itu, Radcliffe-Brown dalam Suwardi (1979: 155-177) mengatakan jika tindakan ritual banyak mengunkapkan simbol, berarti analisis ritual juga harus diarahkan pada simbol-simbol ritual tersebut.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam upacara ritual yang bersifat khas. Menurut (Spradley dalam Suwardi 1997: 121) simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Simbol adalah suatu tanda yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah mendapatkan persetujuan umum dalam tingkah laku ritual.
            Sehubungan dengan hal itu, Turner (Winagun, 1900: 19) mengetengahkan cirri khas simbol, yaitu:
a.       Multivokal, artinya simbol memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal, pribadi dan fenomena. Hal ini menunjukkan betapa kaya makna symbol ritual.
b.      Polarisasi simbol
Simbol yang memiliki banyak arti, terkadang bertentangan
c.        Unifikasi, memiliki arti terpisah
Turner dalam Suwardi (1967: 9) juga mensugestikan bahwa melalui analisis symbol ritual akan membantu menjelaskan secara benar nilai yang ada dalam masyarakat dan akan menghilangkan keragu-raguan tentang kebenaran sebuah penjelasan
Menurut Turner,dalam menganalisis makna simbol dalam aktivitas ritual, menggunakan teori penafsiran, yaitu sebagai berikut:
1.      Exegetical meaning,
makna yang diperoleh dari informan warga setempat tentang prilaku ritual yang diamati. Dalam hal ini, perlu dibedakan antara informasi yang diberikan oleh informan awam dan pakar, antara interpretasi esoterik dan eksoterik. Seorang peneliti juga harus tahu pasti apakah penjelasan yang diberikan informan itu benar-benar representatife atau hanya penjelasan dari pandangan pribadi yang unik.
2.      Operatioanal meaning
makna yang diperoleh tidak terbatas pada perkataan informan, melainkan dari tindakan yang dilakukan dalam ritual. Dalam hal ini perlu diarahkan pada informasi tingkat masalah dinamika social. Pengamat seharusnya tidak hanya mempertimbangkan symbol tetapi sampai pada interpretasi struktur dan susunan masyarakat yang menjalankan ritual. Dalam hal ini perlu diarahkan pada informasi pada tingkat masalah dinamika sosial. Pengamat seharusnya tidak hanya mempertimbangkan simbol tetapi sampai pada interpretasi struktur dan susunan masyarakat yang menjalankan ritual. Apakah penampilan dan kualitas afektif informan seperti sikap agresif, sedih, menyesal, mengejek, gembira, dan sebagainya langsung merujuk pada simbol ritual.
3.      Positional meaning
makna yang diperoleh melalui interpretasi terhadap symbol dalam hubungannya dengan symbol lain secara totalitas. Tingkatan makna ini langsung dihubungkan pada pemilik sombol ritual. Pendek kata, makna suatu symbol ritual harus ditafsirkan ke dalam konteks simbol yang lain dari pemiliknya.  
Ketiga dimensi penafsiran makna tersebut, saling lengkap-melengkapi dalam proses pemaknaan symbol ritual. No (1) mendasarkan wawancara kepada informan setempat, (2) lebih menekankan pada tindakan ritual dalam kaitannya dengan struktur dinamika social, (3) mengarah pada hubungan konteks antara symbol dengan pemiliknya.
            Terkait dengan teori yang dikemukakan Victor Turner maka teori inilah yang  digunakan oleh peneliti untuk mengkaji makna simbol yang terkandung dalam ritual “Mappanre Dewata” pada prosesi perkawinan di Kabupaten Wajo.
4.      Identifikasi wilayah penelitian

III. METODE PENELITIAN
A.    Variabel dan Desain Penelitian
1.      Variabel Penelitian
Variable dalam penelitian ini menggunakan variable tunggal yaitu makna simbolik dalam ritual “Mappanre Dewata” pada prosesi perkawinan adat bugis di daerah Kabupaten Wajo.
2.      Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk deskriptif kualitatif, yaitu mengungkapkan/ mendekskripsikan  objek penelitian, yaitu makna simbolik dalam ritual “Mappanre Dewata” pada prosesi perkawinan adat bugis di daerah kabupaten Wajo
B.     Definisi Operasional Variabel
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan terarah tentang variable yang diteliti, maka perlu diadakan pembatasan variabel. Makna simbolik dalam ritual “Mappanre Dewata” pada prosesi perkawinan adat bugis, adalah mengunkap segala makna yang berupa simbol dalam aktifitas ritual tersebut. 
C.    Penentuan Lokasi penelitian
D.    Data dan Sumber Data
1.      Data
Data adalah segala keterangan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian (Amirin dalam Suwandi, 2003: 130). Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data lisan yang diperoleh dari informan, yaitu tokoh adat dan penghulu yang ada di Kabupaten Wajo.
2.      Sumber data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari data yang diperoleh. Sumber data yang dimaksud disini adalah para informan. Penentuan informan ini menggunakan konsep Spradley (1997:61) dan Bernard (1994: 166), yaitu seorang informan harus paham terhadap budaya yang dibutuhkan. Penentuan informan menggunakan teknik snowballing, yaitu berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan informan selanjutnya sampai mendapatkan data jenuh.

E.     Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengunpulan data adalah cara yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian.
1.      Pengamatan langsung, dengan cara peneliti mengamati secara langsung proses pernikahan dalam hal ini “Mappanre Dewata”.
2.      Wawancara
Wawancara dilakukan sebelum dan sesudah pelaksanaan ritual “Mappanre Dewata”. Wawabcara dilakukan secara langsung kepada informan, peneliti menentukan topik beserta dengan cakupan penelitian.
3.      Teknik pencatatan, peneliti mencatat semua hal yang berhubungan dengan makna simbolik dalam ritual mappanre dewata yang diperoleh dari informan.
F.     Teknin Analisis Data



DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
__________adat Istiadat Suku Bugis, (on line),(http://whandi.net/adat-istiadat-bugis-suku bugis.html, diakses 3 Desember 2010).
Ahira,Anne._____(on line), (www.anneahira.co, diakses 3 Desember 2010).
_______________, (on line), (http://community.um.ac.id, diakses 3 Desember 2010).
_______________, (on line),  (http://deedde.wordpress.com, diakses 3 Desember 2010).
Jemmi, Susma. 2000. Makna Simbol Dalam Prosesi Adat Mappacci Pada Masyarakat Bugis Kabupaten Sidrap. Skripsi. Makassar: FBS UNM
_____________, (on line), (www.rappang.com, diakses 3 Desember 2010).
________________, (online), (http://www.scribd.com/doc/29474385/antropologi, diakses 5 Desember 2010).
_______________, (on line), (http://wisatadanbudaya.blogspot.com, diakses 3  Desember 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cermin

Kuperhatikan lekat-lekat wajah yang disana Tepat berdiri dihadapanku, tidak jauh beberapa cm.                    Siapakah perempuan in...