Selasa, 19 Maret 2013

LESBIANISME DALAM NOVEL SWASTIKA DAN NOVEL NAYLA


I.       PENDAHLUAN
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya karya sastra merupakan sebuah refleksi dari kehidupan nyata, yang dikemas dalam bentuk fiksi dan dibungkus dengan bahasa-bahasa imajinatif. Pengarang dalam mengankat sebuah isu di dalam karyanya tidak lepas dari fenomena-fenomena yang melingkupi lingkaran kehidupan manusia.  Pengarang menuangkan gagasannya berdasarkan dari pengalaman batin mengenai kehidupan masyarakat dalam kurung waktu dan situasi budaya tertentu.
Karya sastra yang lahir pada setiap priode memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Dalam hal ini persoalan atau isu yang diangkat pengarang dalam karyanya mengankat tema sentral yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, priode angakatan 20-30an karya sastra yang lahir lebih banyak menyoroti  fenomena budaya, adat istiadat, kawin paksa. Hal yang berbeda dengan karya sastra yang lahir pada priode 45 yang lebih banyak menyoroti hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat, HAM, kemiskinan dll.
Dalam perkembangannya kemudian, sejak era reformasi bergulir banyak bermunculan pengarang perempuan yang mewarnai dunia kesusastraan. Beberapa pengarang tersebut antara lain: Ayu Utami (Zaman dan Larung), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-main Dengan Kelaminmu), Oka Rusmini (Tarian Bumi, Tempurung). Hal yang menarik kemudian, karya-karya dari para pengarang perempuan tersebut memiliki kecendrungan menyoroti isu seputar seksualitas dan tubuh. Novel Zaman dan Larung karya Ayu Utami, kumpulan cerpen jangan main-main dengan kelaminmu dan mereka bilang saya monyet karya Djenar Maesayu, merupakan sampel karya sastra yang mengupas total permasalahan seksualitas.
 Pada masa sebelumnya terdapat pula karya sastra yang menggambarkan persoalan seksualitas tetapi tidak seradikal dan semarak pada era reformasi. Hal ini bisa dilihat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, penggambaran seksualitas digambarkan secara metaforis dan samar-samar. Hal yang berbeda dengan penggambaran seksualitas oleh para pengarang perempuan yang muncul pada era reformasi. Penggambaran tersebut dilakukan secara radikal. Hal-hal yang selama ini dinggap tabu oleh masyarakat, diungkapkan secara nyata. Bahkan hasrat dan adegan persetubuhan digambarkan dengan tidak segan-segan.
Persoalan seksualitas telah menjadi tema tersendiri yang dikupas oleh para pengarang perempuan era reformasi, termasuk seksualitas yang bersifat abnormal. Tema seksualitas oleh para pengarang perempuan dijadikan sebagi batu loncatan dalam mengkritisi kesenjangan laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai objek seks. Seksualitas dijadikan sebagai bentuk reaksi perlawanan kaum feminis terhadap laki-laki yang menempatkan perempuan sebagai lahan eskploitasi.
Wacana feminis sendiri telah menjadi persoalan mendasar sejak zaman kolonial, yang ditandai dengan munculnya pengarang laki-laki yang membahas perempuan sebagai kaum yang termarjinalkan, sebagai pelengkap bagi kaum laki-laki, perempuan yang hanya mengetahui seputar persoalan rumah tangga, perempuan yang diatur oleh sistem adat. Misalnya pada novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli (1920) dalam novel ini mengisahkan Siti Nurbaya harus mematuhi peraturan adat, dipaksa menikah dengan Datu Maringgik. Azab dan Sengsara karya Merari  Siregar, kesadaran akan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki mulai ada. Mereka menyadari akan pentingnya perempuan menempuh pendidikan, tetapi hanya sebatas bagaimana perempuan  terdidik menjadi seorang istri yang baik.
 Hal yang berbeda kemudian ditampilkan oleh para pengarang perempuan tahun 2000-an. Para pengarang perempuan secara radikal mengankat isu seks sebagai bentuk perlawanan atas laki-laki yang lebih banyak mendominasi atas perempuan. Perempuan yang  bagi laki-laki hanya untuk memuaskan koloninya. Secara keseluruhan para pengarang perempuan tersebut mengunkapkan marginalisasi perempuan dalam setiap strata. Para pengarang perempuan ini mengusung makna emansipasi sebagai wujud kesetaraan sosial yang ingin melepaskan diri dari jebakan pikiran yang memandang tubuh perempuan yang dikaitkan secara kultural dengan sistem patriarki.
Isu tentang pemberontakan perempuan, khususnya yang menjadikan seksualitas sebagai bentuk perlawanan atas dominasi laki-laki, rupanya terlihat pula dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesayu.  Novel Swastika karya Maya Wulan adalah salah satu novel yang mengankat isu tentang seks, lesbian dan biseksual. Tokoh Swastika digambarkan sebagai sosok pemberontak, yang memilih seks sebagai suatu pilihan. Dalam novel tersebut pengarang mengusung gagasan feminis melalui tokoh swastika yang memiliki kecendrungan lesbian. 
Hal yang hampir sama ditemukan dalam novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu, isu tentang seks bebas, lesbian dan juga biseksual diungkapkan oleh pengarang secara gamblang.
Lesbianisme adalah homoseksualitas dikalangan perempuan. Lesbianisme merupakan gejala kecendrungan seorang perempuan menyukai teman perempuannya sendiri. Lesbianisme digambarkan sebagai bentuk hubungan, perasaan paling mendalam serta kasih sayang terjalin  diantara dua perempuan. Hubungan seksual mungkin tejadi terjadi diantara mereka, atau mungkin sama sekali tidak terjadi. Kedua perempuan itu lebih suka menjalani hidup bersama dan berbagi pengalaman yang sama.
Isu lesbian sehubungan dengan wacana feminisme pada intinya kaum perempuan menolak heteroseksual, menginkari keberadaan laki-laki dan menjadikan perempuan sebagai pilihan seks.  Para lesbian mengidentifikas dirinya dengan perempuan lain disebabkan karena adanya kebencian yang tertanam dalam diri mereka akan dominasi laki-laki.
Wacana seputar seksulitas oleh kedua pengarang ini diungkapkan secara kompleks, khususnya yang berkaitan dengan isu lesbian. Kedua novel ini mengusung gagasan feminisme melalui persoalan seksualitas. Dengan pandangan bahwa telah terjadi kesenjangan yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Untuk meneliti persoalan tersebut peneliti akan mengadakan pembacaan spesifik mengenai gagasan feminisme sehubungan dengan wacana lesbian yang diungkap oleh kedua pengarang dalam novel Swastika dan novel Nayla. Dalam hal ini peneliti menggunakan metode perbandingan.
Berdasarkan uraian di atas peneliti mencoba membandingkan novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dari sudut Pandang feminisme sehubungan dengan wacana lesbian yang diangkat oleh Maya Wulan dan Djenar Maesayu dengan menggunakan teori Adrienne Rich.
Penelitian yang sama pernah dilakukan oleh  Anis Kurniawan dengan judul Problem Biseksual Tokoh Swastika dalam novel Swastika Karya Maya Wulan. Penelitian ini memiliki persamaan pada objek kajian feminisme. Perbedaan dalam penelitian ini, peneliti sebelumnya menggunakan kajian feminisme sastra sedangkan pada penelitian ini menggunakan studi sastra bandingan dengan menggunakan teori Adrienne Rich dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumuan masalah berdasarkan latar belakang di atas yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gagasan feminisme sehubungan dengan lesbian dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu?
2. Bagaimanakah perbandingan novel Swastika dan novel Nayla dalam mengunkap gagasan feminisme melalui wacana lesbian?
C.    Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah atau objek yang diteliti, maka penelitian ini bertujuan untuk: 
1. Mendekskripsikan gagasan-gagasan feminisme sehubungan dengan lesbian dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel nayla karya Nayla karya Djenar Maesa Ayu. 
2. Mendekskripsikan perbandingan novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dalam mengunkap gagasan feminisme lesbian.
D.    Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1.     Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dalam penelitian ini untuk mengembangkan kajian sastra khususnya yang berhubungan dengan kajian sastra bandingan. Dalam hal ini perbandingan novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dalam mengunkap gagasan feminisme melalui wacana lesbian.  
2.     Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah memberikan sumbangsih pemikiran kepada pembaca mengenai perbandingan novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla kaya Djenar Maesa Ayu dalam mengunkap gagasan feminisme melalui wacana lesbian.
E.     Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penelitian sangat penting artinya karena dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai langkah-langkah penelitian sekaligus permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian. Sistematika dalam penulisan sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan.
Bab II, Tinjauan Pustaka dan Kerangka pikir serta bagannya.
Bab III, Metode Penelitian yang terdiri atas fokus penelitian dan desain penelitian, data dan sumber data, Teknik analisis data.
Terakhir daftar pustaka, lampiran yang terdiri atas sinopsis novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesayu, serta biografi pengarang.
II.    TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A.    Tinjauan Pustaka
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam membahas masalah dalam sebuah penelitian, diperlukan sejumlah teori yang dijadikan sebagai acuan dan landasan berpikir. Sehubungan dengan masalah yang akan di teliti beberapa teori yang dianggap relevan dipaparkan sebagi berikut
1.      Pengertian Novel
Kata novel berasal dari bahasa inggris (novel) merupakan salah satu bentuk karya sastra fiksi. Di Italia novel disebut  novella, sedangkan di Jerman lebih dikenal dengan istilah novelle. Secara harfiah novella berarti sebuah barang yang baru dan kecil, yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2007: 9).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesai (2005:788) novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku. Hal yang senada di kemukakan oleh Nurgiyantoro (2007:11) novel mengungkapkan gambaran sisi kehidupan manusia dengan memperlihatkan watak, keadaan waktu yang berbeda setiap pelaku (tokoh) tertentu sehingga menimbulkan kesan bagi pembaca. Novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, serta lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang kompleks.
Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara mendetail. Dunia novel adalah kombinasi berbagai elemen seperti nilai-nilai, hukum-hukum, kekuatan-kekuatan, kemungkinan-kemungkina, dan masalah-masalah yang cukup besar untuk ditampung ke dalam suatu wadah (Stanton, 2007: 90-99).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa novel merupakan salah satu karya fiksi yang yang berisi serangkaian peristiwa yang terjadi dalam ruang lingkup kehidupan manusia, dengan menonjolkan sikap, perilaku dan karakter yang direpresentasikan melalui setiap tokoh yang di hadirkan oleh pengarang.
Sebagai genre sastra novel terdiri atas elemen-elemen atau unsur yang membangun. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk sebuah totalitas. Unsur-unsur pembangun karya sastra sangatlah penting agar sebuah keutuhan karya sastra itu terwujud.
Menurut Nurgiyantoro (2007: 23) unsur-unsur yang membangun sebuah novel terdiri atas unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang-orang membaca karya sastra. Unsur yang dimaksud adalah tema, tokoh/penokohan, alur, setting, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa.
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, yang secara tidak langsung berkaitan dengan unsur cerita. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya Nurgiyantor ( 2007: 23). 
2.      Seksualitas, bentuk-bentuk prilaku seksual
a.      Pengertian Seksualitas
Seksualitas mencakup kegiatan yang paling manusiawi yang tidak harus bertujuan untuk memenuhi tugas reproduksi, dan bahwa kenikmatan bukanlah satu-satunya dan bukan pula tujuan utama dari hubungan seks antar sesama manusia (Spenser dan Susan dalam Priyatna, 2007: 294).
 Seksualitas meliputi sebuah perasaan, hubungan antar manusia, serta komunikasi antar pasangan yang tidak dibatasi oleh keadaan fisik. Jakson dan Scot (2008: 150) memberikan definisi seksualita sebagai hasrat, politik, ataupun identitas yang mengandung signifikasi erotis. Definisi ini mengisyratkan seksualitas berhubungan dengan aspek personal dan sosial.
Aan Oakley (dalam priyatna, 2007: 294) mendekskripsikan seksualitas sebagai aspek kepribadian yang berhubungan dengan prilaku seksual.
Perilaku seksual dalam hal ini adalah gejala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik antar sesama jenis (homosekseks) maupun dengan lawan jenis (heteroseksual). Bentuk-bentuk tingkah laku ini bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama.
Berdasarkan definisi di atas, seksualitas dapat dipahami sebagai bentuk hubungan keintiman antara laki-laki dan perempuan sebagai bentuk perwujudan kasih sayang. Seksualitas mencakup seluruh  aspek biologis, psikologis, sosial, emosional, dan dimensi spiritual dari kehidupan. Dengan demikian seksualitas tidak hanya sekadar kegiatan, tetapi juga mengandung hal-hal yang bersifat sosial dan berdampak sosial, seperi praktik dan identitas.
b.      Bentuk-bentuk perilaku seksual
Perilaku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 859) didefinisikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsanangan atau lingkunagan.
Perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku yang di dorong oleh hasrat seksual. Menurut Kartono (dalam Oktivita, 2005: 29-35 diakses tanggal 15 Desember 2010) bentuk-bentuk prilaku seksual di bagi atas 3 yaitu sebagai berikut:
1)      Prilaku seksual yang disebabkan oleh dorongan seks yang abnormal
a)      Promiscuity (hubungan seks yang campur aduk) adalah hubungan seksual secara bebas, awut-awutan, dengan siapapun secara terang-terangan tanpa disertai oleh rasa malu yang disebakan oleh adanya dorongan nafsu seks yang tidak wajar.
b)      Perzinaan (Adultery) adalah bentuk prilaku sesksual antara seorang laki-laki yang sudah menikah dengan wanita yang bukan istrinya.
c)      Seduksi adalah bujukan dan godaan untuk mengajak partnernya untuk bersetubuh, yang melanggar norma susila.
d)     Zoofilia adalah bentuk cinta yang mesra kepada binatang, seseorang yang memiliki prilaku seperti ini, memperoleh kepuasan seksualnya dengan jalan otidur bersama dengan binatangnya, mencium dan lain sebagainya.
2)      Prilaku seksual yang disebabkan oleh partner/ pasangan seks yang abnormal
a)      Lesbianisme adalah homoseksualitas dikalangan wanita (mencintai sesama wanita) yang disebut lesbi atau lesbianisme. Ada beberapa hal yang biasanya menyebabkan seseorang wanita menjadi lesbi, (1) tidak merasakan orgasme, (2) rasa benci kepada laki-laki, (3) jenuh terhadap pasangannya dan lain sebagainya.
b)      Biseksual adalah mencintai seorang laki-laki sekaligus mencintai seorang perempuan.
3)      Prilaku seksual yang dilakukan dengan cara abnormal
a.       Onani adalah upaya mencapi satu keadaan ereksi organ-organ kelamin dan perolehan orgasme lewat perangsangan manual dengan tangan atau perangsangan mekanis.
b.      Sadisme adalah bentuk kelainan seksual seseorang yang memperoleh kepuasan seksualnya apabila menyiksa pasangannya.
3.      Feminisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 315) Feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan antara laki-laki dan perempuan. Feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, sosial yang teroganisasi dan memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goefe dalam Sugihastuti, 2007: 140).
Menurut Humm (2002: 158) feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan, dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan dan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan melampaui persamaan soial yang sederhana. Hal yang senada dikemukakan oleh Barker (2009: 238)
Feminisme adalah suatu arena plural bagi teori dan politik yang memilki perpekstif dan preskripsi yang saling berkompetisi untuk sebuah aksi. Secara umum dapat dipahami bahwa feminisme menyatakan bahwa jenis kelamin sebagai poros fundamental dan tak dapat terduksi dari organisasi yang telah menyubordinasi perempuan  dibawah laki-laki (Barker, 2009: 238)
Jadi, feminisme dapa dipahami sebagai gerakan yang bertumpu pada pesoalan persamaan jenis kelamin dan prinsip penataan kehidupan sosial yang sepenuhnya dipengaruhi oleh relasi kekuasaan. feminisme adalah suatu gerakan yang bertujuan untuk mengostruksi strategi politis yang digunakan untuk melawan intervensi ke dalam kehidupan sosial demi mengabdi kepada kepentingan perempuan.
            Crhris Barker (Cultural Studies, 2009: 239-241) membagi aliran utama feminisme yaitu:
1.      Feminisme liberal, melihat perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai konstruk sosio-ekonomi dan kultural ketimbang sebagai hasil dari suatu biologi abadi. Mereka menekankan perlunya kesetaraan kesempatan bagi perempuan di semua bidang.
2.      Feminisme sosialis, menekankan pada hubungan antara kelas dan gender, termasuk tempat fundamental ketimpangan gender dalam reproduksi kapitalisme. Subordinasi perempuan oleh laki-laki dilihat secara intrinsik ada di dalam kapitalisme, sehingga pembebasan total perempuan harus dilakukan dengan meruntuhkan organisasi dan relasi sosial kapitalis. Kerja domestik perempuan adalah inti dari reproduksi tenaga kerja baik secara fisik maupun secara kultural.
3.      Feminisme perbedaan, melihat adanya perbedaan esensial laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini dipandang fundamental dan diinterpretasikan sebagai perbedaan secara kultural, psikis dan bilogis. Feminisme perbedaan mengembankan kecendrungan yang mengarah kepada separatisme. Menurut Rowbhotham (dalam Barker, 2009: 244) feminisme perbedaan mengaburkan perbedaan antarperempuan selaku individu dan ciri khas mereka dan lebih melihat bentuk penindasan yang bersifat universal dan mencakup semua aspek. Semua perempuan bukan hanya tampak tertindas dengan cara yang sama, namun terdapat kecendrungan untuk menampilkan mereka sebagai mahluk yang lemah dan tidak memiliki kekuasaan.
4.      Feminisme kulit hitam dan feminisme Pascakolonial, melihat perbedaan antara pengalaman perempuan kulit hitam dengan kulit putih. Mereka mengemukakan bahwa kolonialisme dan rasisme telah menstrukturkan relasi kekuasaan antara perempuan kulit hitam dan kulit putih, dan membatasi semua perempuan sebagai kulit putih. Sedangkan dalam konteks pascakolonial, perempuan memikul beban ganda yaitu dijajah oleh kekuasaan imperial dan disubordinasikan oleh laki-laki penjajah dari pribumi.
5.      Feminisme pascastruktualis, mengklaim bahwa jenis kelamin dan gender adalah konstruksi sosial dan kultural yang tidak dapat di jelaskan dalam konteks biologi atau direduksi menjadi fungsi kapitalisme. Feminitas dan maskulinitas bukan merupakan kategori universal dan abadi melainkan konstruksi diskursif. Feminisme pascastruktualis memusatkan perhatiannya kepada konstruksi kultural subjektivitas. .
Gerakan feminisme sendiri muncul pada tahun 1960-an di Amerika dan memberikan dampak kesadaran pada masyarakat akan kedudukan perempuan yang inferior (Djajanegara, 2003: 15). Sejalan dengan pendapat tersebut Rivkin dan Ryan (dalam Anwar, 2009: 8) mengemukakan bahwa gerakan awal feminisme ditandai dengan munculnya subjek gerakan feminisme di era 1960-1970-an yang fokus gerakannya terarah pada pada pengalaman-pengalaman wanita dibawah naungan patriarki pada sebuah komunitas dengan tradisi yang panjang dengan pembungkaman pada perempuan, kehidupan yang terdistorsi dan keinginan-keinginan subjektifitasnya diperlakukan secara periperal.
Menurut Djajanegara (2003: 1-2) ada beberapa pendapat yang berkaitan dengan munculnya gerakan feminisme di Amerika. Pendapat pertama mengatakan bahwa pada waktu deklarasi Amerika 1776 antara lain tercantum dalam “all men are created equal” semua laki-laki diciptakan sama, tanpa menyebut nama perempuan. Para feminis merasa bahwa pemerinta Amerika tidak mengindahkan kepentingan-kepentingan perempuan. Maka dalam konvensi di Seneca Falss tahun 1848, dianggap sebagai awal timbulnya gerakan perempuan secara terorganisir dan diberi label Womens Great Rebellion (pemberontakan besar kaum perempuan).
Pendapat yang lain mengemukakan bahwa aspek agamalah yang mendasari tumbuhnya gerakan feminisme di Amerika. Dengan berlandaskan bahwa gereja bertanggung jawab atas kedudukan perempuan yang inferior, karena baik agama protestan maupun katolik menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Menurut ajaran katolik perempuan adalah mahkluk yang kotor dan wakil iblis, di gereja perempuan harus diam, tidak diizinkan berbicara (Djajanegara, 2003: 2).
Pandangan lain yang mempengaruhi lahirnya feminisme adalah konsep sosialisme dan marxis. Menurut pandangan ini, kaum perempuan merupakan suatu kelas dalam masyarakat yang di tindas oleh kelas lain, yaitu kelas laki-laki (Djajanegara, 2003: 2).  
Sebagai suatu gerakan sekaligus pendekatan  feminisme tumbuh dan berkembang untuk mengubah struktur yang ada karena dianggap telah mengakibatkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Gerakan ini kemudian merambah pula ke dunia sastra yang menghadirkan sebuah pendekatan alternatif dalam menganalisis karya sastra, yaitu kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis perempuan dan menunjukkan citra perempuan dalam karya penulis pria yang menampilkan perempuan sebagai mahkluk yang tertekan, dinggap rendah dan disepelekan oleh tradisi patriarki.
Kritik sastra feminis berlandaskan pada asumsi/ paham yang menempatkan perempuan berdasar pada kodratnya sebagai perempuan yang kemudian menimbulkan isu tertentu tentang perempuan. Kritik ini berusaha mengindentifikasi suatu pengalaman dan perpektif pemikiran laki-laki dan cerita yang dikemas sebagai pengalaman manusia dalam sastra. Hal ini dimaksudkan untuk mengubah pemahaman terhadap karya sastra sekaligus terhadap signifikansi berbagai kode gender yang ditampilkan dalam teks (Showalter dalam sofia, 2009: 20). 
Suroso dkk (2009: 54)  membagi ragam kritik feminis yaitu sebagai berikut:
a.       Kritik feminis sosialis atau kritik feminis marxis, wanita sering ditempatkan sebagai kelas proletar, sementara suami sebagai kelas borjuis.
b.      Kritik feminis psikoanalitik, mengapa wanita lebih suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih dan lembut.
c.       Kritik feminis lesbian, bagaimana hubungan antara sesama wanita terhadap masalah seks dan sebagainya.
d.      Kritik feminis ras atau kritik feminis etnik, bagaimana suku atau suatu bangsa memperlakukan wanita, ditekan oleh tradisi, dan sebagainya.
e.       Kritik feminis ideologis, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata.
Kritik feminisme dalam ilmu sastra adalah studi yang mengarahkan telaahnya kepada perempuan. Raman Selden (dalam Suroso, 2009: 54) mengemukakan ada lima hal yang menjadi fokus pembicaraan dalam kritik feminis yaitu:
a.       Biologi, menempatkan perempuan sebagai kandungan, lebih inferior, lembut, lemah, dan rendah.
b.      Pengalaman, wanita dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas, masalah menstruasi, melahirkan, menyusui, memelihara anak, dan ibu rumah tangga.
c.       Wacana, perempuan memiliki penguasaan bahasa yang lebih rendah, sedangkan laki-laki memiliki tuntutan kuat, akibatnya menimbulkan strerotip negatif pada perempuan sebagi teman belakang.
d.      Ketaksadaran, seksualitas perempuan bersifat revolusioner, subversif, beragam dan terbuka, yang tidak disadari oleh kaum laki-laki.
e.       Kondisi sosial dan ekonomi, pengarang feminis sering menghadirkan tuntutan sosial ekonomi yang berbeda dengan kaum laki-laki.
Feminis dapat juga dipahami sebagai bentuk proses atau fase-fase kebangkitan kesadaran wanita tentang kedudukan dan hak-hak mereka dalam berbagai bidang dan dimensi perubahan sosial.
 Menurut Eisentein (dalam Anwar, 2009: 20-27) pemikiran feminis di Barat dapat dipilah berdasarkan tiga aliran pemikiran utama yaitu sebagai beriktu:


1.      Feminis gelombang pertama,
Dalam gelombang pertama aktivitas feminis lebih menekankan aspek perbedaan biologi wanita dengan laki-laki sebagai elemen fundamental yang menjadi dasar kelemahan dan penindasan perempuan khususnya sistem budaya patriarki yang dianggap sebagai aspek yang paling bertanggungjawab terhadap dikskriminasi dan penindasan wanita. Para aktivis feminis gelombang pertama kemudian membangkitkan kesadaran perempuan untuk tidak menjadi alas an seks atas perbedaan jenis kelamin (gender) sebagai halangan untuk melibatkan diri dalam sektor publik.
2.      Feminis gelombang kedua
Feminis gelombang kedua lebih mengfokuskan gerakan pada egalitarianisme secara radikal berbasis pada ketertindasan dalam pembagian gender. Kebangkitan feminis gelombang kedua ini, juga terkait dengan berbagai situasi yang terjadi seputar kehidupan perempuan. Berkembang dan meluasnya kesempatan kerja dan memperoleh pendidikan tinggi bagi kaum perempuan dan tingginya kesenjangan peran domestik sebagai ibu rumah tangga dan istri. Menurut Friedan (dalam Anwar, 2009: 23) koneksi antara gagasan pembebasan perempuan dan berkembangnya tuntutan hak-hak sipil yang banyak terabaikan, serta kesadaran perbedaan tingkat penindasan perempuan diberbagai belahan dunia adalah focus baru dalam gerakan feminis dalam gelombang kedua.


3.      Feminis gelombang ketiga
Perkembangan feminis gelombang ketiga  berada pada rentang tahun 1980-an dan 1990-an. Feminis gelombang ketiga memandang feminis gelombang kedua terlalu bertendensi pada pembentukan teori feminis yang bersifat “total” dan mengabaikan berbagai pengalaman kultural yang termarjinalisasi dan terkolonialisasi. Terjadinya perubahan perpekspektif dalam memandang akar dikskriminasi dan penindasan perempuan yang tidak sekadar berasal dari cara pandang laki-laki, tetapi juga terhadap cara pandang perempuan itu sendiri melahirkan perspektif baru dalam pemikiran feminis yang muncul mewakili lahirnya feminis gelombang ketiga. Salah satu aspek penting yang disuarkan oleh aktifis dan tokoh feminis gelombang ketiga adalah persoalan gender.
a.      Feminisme lesbian
Feminisme lesbian adalah gerakan yang secara radikal, berpikir mengenai perubahan sosial dan tatanan gender dengan melihat kebebasan perempuan dari heteroseksual konvensional. Lesbianisme muncul tidak  saja sebagai sebuah isu penting tetapi juga sebagai sebuah gerakan feminis revisionis yang membawa model ikatan egalitarian antara perempuan dengan perempuan. Sebuah upaya serius dari beberapa komunitas feminis radikal di Barat untuk menghancurkan supremasi laki-laki melalui prinsip heteroseksual (Anwar, 2009: 299)   
Tahun 1970-an seruan kepada lesbianisme oleh feminisme radiakal didasarkan pada prinsip bahwa heterokseksualitas sebagai norma sosial, dan merupakan indikasi lebih lanjut tentang penindasan terhadap perempuan. Hal ini berawal dari asumsi bahwa satu-satunya feminis sejati adalah lesbian karena mereka memilih perempuan sebagai mitra seksual (Gamble, 2010: 341).
 Beberapa teoritisi peletak dasar teori lesbian mengemukakan bahwa feminisme lesbian melibatkan pilihan seksual dan pilihan politik karena adanya penolakan terhadap definisi kehidupan perempuan. Humm dalam bukunya Ensiklopedia Feminisme (2002: 247) mendefinisikan feminisme lesbian sebagai suatu bentuk hubungan antara sesama perempuan, yang mempunyai komitmen bersama dalam persoalan politik, seksual dan ekonomi.
Di Amerika, karya Charlotte Bunch dalam  Lesbianism and The Womens Movement mengemukakan bahwa lesbian menolak dominasi laki-laki (politis laki-laki). Bunch menentang dunia laki-laki berikut organisasi sosial dan ideologinya, yang memandang perempuan sebagai inferior. Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa lesbianisme menolak heterokseksualitas dengan menutup jalan akhir subordinasi perempuan terhadap dominasi seksual (Gamble, 2010: 341). 
Sementara di Inggris, di pelopori oleh para feminis revolusioner Leeds di dalam bukunya yang berjudul “ Political Lesbianism: The Case Againts Patriarchy mereka memandang perempuan sebagai prevensi politis, lebih dari sebuah hasrat dengan melihat bahwa kaum lesbian lebih tertindas di banding perempuan lain. Sikap ini mendorong pada sebuah hierarki kepercayaan dari pengalaman yang menempatkan lesbianisme politis sebagai identitas feminis tunggal yang benar (Gamble, 2010: 341).
Shelley (dalam Jakson, 2009: 197) mendefinisikan lesbianisme sebagai sebuah jalan menuju kebebasan dari penindasan laki-laki. Permusuhan laki-laki terhadap lesbian diakibatkan oleh kemandirian lesbian yang merupakan ancaman yang menakutkan terhadap supremasi laki-laki. Lesbian diberi label sebagai orang yang sakit secara mental karena mereka dianggap menyimpan permusuhan kepada laki-laki. Namun, menurut Shelly sifat menindas dalam masyarakat yang didominasi laki-laki adalah salah satu alasan kaum perempuan menanamkan kebencian dan permusuhan kepada laki-laki dan mengakibatkan perempuan mengidentifikasi dirinya dengan perempuan lain (lesbian). Maka lesbianisme merupakan tanda dari mental yang sehat.
Para feminis heteroseksual menolak lesbian berdasarkan rasa takut dan kemarahan. Perempuan heteroseksual takut pada lesbian karena ada sisi lesbian dalam diri mereka. Gene Damon (dalam Jakson, 2009: 198) mengemukakan bahwa lesbian itu dilahirkan, kaum lesbian tidak mempunyai pilihan untuk menjadi bagian dari kelompok minoritas yang benar-benar tertindas. Damon mengenalkan gagasan lesbian sebagi orang yang tertindas secara ganda. Seorang lesbian menanggung penindasan perempuan sekaligus penindasan laki-laki (gay)
Tiga hal yang menjadi ciri dasar dalam tulisan teoritis lesbian selama dekade tiga puluh tahun belakangkan ini, yaitu identitas, seksualitas dan komunitas. Ketiga hal tersebut adalah bentuk pendefinisian diri lesbian atau lesbianisme dalam hubungannya dengan berbagai identitas, kelompok atau gerakan lain. Kaum lesbian merefleksikan bentuk esklusi atau pembungkaman mereka dalam gerakan-gerakan atau berbagai hal yang menyebabkan pembungkaman ekslusi (Gonda dalam Jakson 2009: 196-197).
Pada dasarnya kaum feminis lesbian melihat bahwa dalam permainan “Butch/ femme” dan dinamika “atas/ bawah” yang sadomasokistis, terdapat suatu pola antara dominasi dan ketertundukan yang mencerminkan struktur heteroseksual. Kaum lesbian menolak gagasan kaum radikal seks yang  menyatakan nikmatnya sadomasokisme, bermain butch/ femme, alat-alat seks dan yang lainnya. Menurut Gonda (2009: 205) seorang lesbian tidak seharusnya melakukan hal-hal yang dilakukan oleh kaum radikal seks, yang menampilkan kesadaran palsu yang secara keliru mengadopsi paraktik seksual laki-laki dan gay. Kaum lesbian tidak seharusnya terlibat dalam prilaku seksual.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa kehadiran feminisme lesbian sebagai upaya penolakan perempuan atas heteroseksual yang konvensional.
b.      Adrienne Rich
Adrienne Rich (dalam Humm, 2002: 248) menyatakan bahwa perempuan secara mendasar melekat kepada perempuan lain, karena perempuan mempertahankan hubungan kanak-kanak dengan ibunya. Semua perempuan mulai dari bayi menyusu pada payudara ibu dan pada saat menuyusui seorang ibu mengalami sensasi orgasme dengan anaknya sendiri. Berawal dari gagasan tersebut Rich mengemukakan bahwa setiap perempuan memiliki pengalaman lesbian (lesbian kontinum).
Lesbian kontinum didefinisikan sebagai serangkain bentuk pengalaman antara sesama perempuan yang teridentifikasi dan meliputi semua hubungan intesitas antara keduanya. Hubungan yang tidak hanya dibatasi pada pengalaman kontak genital, tetapi lebih kepada hubungan intensitas utama di kalangan perempuan, antara lain berbagi kehidupan, ikatan melawan tirani laki-laki, pemberian dan penerimaan dalam bentuk dukungan (Rich dalam Humm, 2002: 244). 
Gagasan mengenai lesbian kontinum oleh Rich (dalam Humm, 2002: 245)  membawa fokus kualitas resistensi baru dalam bentuk penyerangan pada patriarki dengan menyertakan komponen seksual. Lesbian kontinum akan menjadi sumber dari kekuasaan dan pengetahuan bagi perempuan di luar setiap gerakan sejarah tertentu karena melepsakan perempuan dari sebuah kontinuitas yang keliru.
Perempuan yang tidak pernah mempertanyakan “posisi istimewa dan solispsisme heterokseksualitas” menggunakan “kontinum lesbian sebagai cara yang aman untuk menggambarkan perasaan dan hubungan mereka dengan perempuan tanpa harus berbagi resiko dan ancaman yang ditanggung kehidupan lesbian (Rich dalam Jakson, 2009: 203).
Seorang lesbian tidak hanya dibatasi pada persoalan seksual tetapi lebih kepada hubungan antara sesama perempuan. Lesbian merupakan bentuk perlawanan patriarki dalam bentuk praktik seksual. Sebagai bagian dari patriakri lesbian berperan sebagai politik yang berpusat pada perempuan. Istilah lesbian digunakan untuk membatasi asosiasi klinis dalam definisi patriarki, antara persahabatan perempuan yang terpisahkan dari sikap erotis.
Lesbian secara historis kehilangan keberadaan politik melalui “inklusi” sebagai versi perempuan homoseksualitas laki-laki. Lesbian digambarkan sebagai sebuah komunitas perempuan yang koheren. Perempuan  di identifikasi sebagai sumber energi dan memiliki kekuatan dibawah institusi heteroseksual. Penolakan realitas dan visibilitas akan gairah perempuan untuk perempuan, perempuan yang memilih perempuan sebagi sekutu sekaligus sebagi sahabat kehidupan Rich (http://en.wikipedia.org/wiki diakses14 februari 2011).
Di bidang ilmu sosial dasar ditegaskan bahwa cinta utama antara jenis kelamin adalah normal. Perempuan membutuhkan laki-laki sebagi pelindung sosial, memenuhi kebutuhan ekonomi, dan untuk seks. Dengan berpijak pada asumsi dasar bahwa heteroseksual merupakan unit sosial dasar. Heteroseksual yang menurut Rich sebagai preferensi seksual dari kebanyakan perempuan. Institusi heteroseksual wajib merupakan kunci mekanisme yang mendasari dan bertanggung jawab atas dominasi laki-laki. (Rich dalam Humm, 2002: 245).
Rich menambahkan perempuan mengindentifikasi dirinya dengan perempuan lain karena adanya kebencian yang tertanam dalam budaya dominasi laki-laki. Kebencian yang memicu timbulnya sikap paranoid perempuan terhadap laki-laki.
Berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Adrienne Rich, teori inilah yang digunakan oleh peneliti dalam mendekskripsikan gagasan feminisme dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesayu.


4.      Sastra bandingan
Bassnett (dalam Rokhman 2009, diakses 10 Januari 2011) menyatakan bahwa istilah Sastra Banding (Comparative Literature) muncul pertama kali di Perancis tahun 1816 yang diambil dari rangkaian antologi untuk pengajaran sastra yang berjudul Cours de litterature comparee. Di Jerman, istilah ini dipadankan dengan vergleichende Literaturgeschichte yang muncul pada tahun 1854. Sementara itu, istilah comparative literatures muncul di Inggris pada tahun 1848.
Sastra bandingan adalah sebuah studi teks across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan menurut wilayah geografis sastra. Dalam hal ini sastra banding tidak hanya terbatas pada bandingan karya sastra tetapi dengan bidang yang lain juga. Konsep perbandingan demikian untuk melihat keterkaitan antara aspek kehidupan Endraswara (2008: 128). Hal yang senada dikemukakan oleh Remak (dalam Rokhan 2009, diakses 10 Januari 2011) sastra bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti seni (misalnya, seni lukis, seni ukir, seni binda dan seni musik), filsasfat, sejarah, dan sains sosial (misal politik, ekonomi, sosiologi) sain, agama, dll.
Fowler (dalam Rokhan 2009, diakses 10 Januari 2011 ) menyatakan bahwa sastra banding secara sistematis mengembangkan kecenderungan kaitan antar karya sastra dalam bahasa yang sama maupun bahasa yang berbeda.
Definisi yang lain mengenai sastra banding dikemukakan oleh Wellek dan Werren dalam bukunya Teori Kesusastraan. Menurut Wellek dan Warren (1989: 47-50) Istilah sastra bandingan dalam prakteknya menyangkut bidang studi dan masalah lain. Pertama, istilah ini dipakai untuk studi sastra lisan, terutama cerita-cerira rakyat dan migrasinya, serta bagaimana dan kapan cerita rakyat masuk kedalam penulisan satra yang lebih artistik. Kedua, istilah sastra bandingan mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih. Ketiga, istilah sastra bandingan disamakan dengan studi sastra menyeluruh, sama halnya dengan sastra dunia, umum atau universal.
Berdasarkan dari beberapa definisi tentang sasra banding  Zepetnek (dalam Rokhan 2009, diakses 10 Januari 2011) mendefinisikan  sastra banding sebagai metode dalam studi sastra yang mengimplikasikan dua cakupan. Pertama, sastra banding menyiratkan pengetahuan lebih dari satu bahasa dan sastra suatu negara dan pengetahuan serta penerapan disiplin-disiplin lain dalam dan untuk studi sastra. Kedua, sastra banding mengandung ideologi Dunia. Yang meliputi sastra marjinal dalam berbagai makna marjinalitasnya, genrenya, berbagai jenis teksnya, dan sebagainya.
Sastra banding sebagai bentuk kajian dalam sastra pada dasarnya mencari dua hal, yaitu: (1) affinity (pertalian, kesamaan) dan paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain; (2) pengaruh karya sastra terhadap karya yang lain atau pengaruh sastra pada bidang yang lain.
Sementara itu, Jost (dalam Endraswara, 2008: 138) mengemukakan bahwa sastra bandingan meliputi beberapa aspek, yaitu: pengaruh, sumber ilham (acuan), proses pengambilan ilham atau pengaruh itu, dan tema dasar. Sehubungn dengan hal itu, berdasarkan objek garapan Jost membagi kelompok sastra banding kedalam empat bagian: (1) kategori yang melihat hubungan karya satu dengan yang lainnya, dengan menelusuri kemugkinan adanya pengaruh karya yang satu dengan yang lain; (2) kategori yang mengkaji tema karya sastra; (3) kajian terhadap gerakan atau kecenderungan yang menandai suatu peradaban; (4) analisis bentuk karya sastra (genre). 
            Berdasarkan ruang lingkupnya, sastra bandingan digolongkan ke dalam empat bidang utama, yaitu sebagai berikut:
1.      Kajian yang bersifat komparatif, menelaah teks A, B, C dan berdasarkan nama pengarang, tahun penerbitan, lokasi penerbitan, dll. Kajian ini untuk melihat adanya persamaan (affinity) ataukah perbedaan (influence).
2.      Kajian bandingan historis, menekankan pada pengaruh nila-niai historis yang melatarbelakangi kaitan antara satu karya dengan karya sastra yang lain dan hubungannya dengan hasil pemikiran manusia. Tujuan akhir dari bidang kajian ini untuk melihat pengarauh historis tertentu yag ada dalam diri pengarang, sehingga menciakan karya.
3.      Kajian bndingan teoritik, bertujuan untuk menggambarkan secara jelas tentang kaidah-kaidah kesastran.
4.      Kajian antar disiplin ilmu, menekankan kepada perbandingan antara karya sastra dengan bidang yang lain, misalnya kepercayaan, politik, agama, seni dan sebagainya.
Sementara menurut Barbirin (dalam endraswara, 2008: 138) ditinjau dari aspek bahan ada 3 ruang lingkup sastra bandingan yaitu sebagai berikut:
1.      Bandinga sastra lisan, terutama untuk membadingkan cerita rakya dan migrasinya, serta bagaimana dan kapn cerita rakyat itu masuk ke dala penulisan karya sastra yang lebih bersifat artistik.
2.      Bandingan sastra tulis yang berkaitan dengan dua karya atau lebih, misalnya sastra Indonesia modern dengan sastra Indonesia klasik.
3.      Bandingan dalam keranka supranasional yang mempelajari gejala-gejala sastra konkret yang saling bekaitan dalam perkembangan sejarah. Perbandingan ini menggunakan kajian sastra teoritik dan sejarah sastra.
Sastra banding atau yang sering disebut dengan comparative literature merupakan usaha membandingkan dua karya sastra. Dalam perbandingan ini tidak hanya terfokus pada karya sastra tetapi juga aspek-aspek yang ada dalam karya sastra itu sendiri.
Pada dasarnya sastra bandingan bertujuan untuk: (a) untuk mencari pengaruh karya sastra dengan yang lain serta bidang yang lain begitupun sebalinya; (b) untuk menemukan nama karya sastra yang benar-benar orisinil dan yang tidak dalam ruang lingkup sastra; (c) untuk menghilangkan kesan bahwa karya sastra nasional tertentu lebih hebat dibenadingkan karya nasional yang lain; (d) untuk mencari keragaman budaya yang terpantul dalam karya sastra tertentu dengan bersumber dari pikiran manusia dari waktu ke waktu. Dari perbandingan tersebut akan terlihat apakah mengalami kemajuan atau justru kemunduran; (e) untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan universal dalam sastra; (f) untuk menilai mutu dan kendahan karya-karya dari berbagai negara.
Secara gari besar  sastra bandingan berlandaskan pada tiga hal: (1) afinitas adalah hubungan kekerabatn teks sastra, setiap teks karya sastra memiliki hubungan pertautan yang erat dengan teks karya sastra sebelumnya; (2) tradisi adalah unsur kesejarahan karya sastra, dalam hal ini karya sastra yang lahir lebih awal dianggap sebagai sumber ilham karya sastra berikutnya; (3) konsep pengaruh adalah keterpengaruhan unsur-unsur sastra baik sebagian maupun secara keseluruhan.
            Metode sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan metode kritik sastra yang menggunakan objek lebih dari satu. Menurut Yaapar (dalam Endraswara, 2008: 140) sastra bandingan bersifat positivistik dengan kajian yang bercorak binari dan bertumpu pada rapports defaits yaitu suatu bentuk hubungan faktual antara dua buah teks yang dijadikan objek penelitian. Metode sastra bandingan dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu:
1.      Metode perbandingan diakronik adalah perbandingan dua karya atau lebih yang berbeda priode penciptaan.
2.      Metode perbandingan sikronik adalah perbandingan karya sastra yang se-zaman.
Jadi, secara umum sastra bandingan adalah suatu bidang kajian yang menekankan pada perbandingan dua karya sastra atau lebih, yang berbeda priode penciptaan maupun se-zaman untuk melihat adanya pertalian/ hubungan kesamaan ataupun perbedaaan.
Berdasarkan paparan di atas peneliti hanya memfokuskan kajiannya pada perbandingan dua novel dari dua pengarang perempuan yang dilihat dari sudut pandang feminismenya.
B.     Kerangka Pikir
Prosa fiksi merupakan salah satu genre sastra yang berbentuk narasi, menceritakan sesuatu yang berbentuk rekaan dan khayalan.  Sebagai genre fiksi novel mengungkap segala bentuk rangkaian kehidupan seseorang dengan menonjolkan sikap dan prilaku setiap tokohnya.
Novel yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah Swastika Karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Dalam mengkaji kedua novel tersebut peneliti menggunaka metode perbandingan dengan menggunakan teori lesbian Adrienne Rich. Hasil penelitian dari kedua novel tersebut, peneliti memperoleh gambaran tentang perbandingan gagasan feminisme sehubungan dengan wacana lesbian dalam kedua novel tersebut. Secara sederhana kerangka penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

BAGAN KERANGKA PIKIR
Karya satra
                                                     
Swastika
Novel
Nayla
 






                                                                                                                                                              
Feminisme Lesbian
Temuan
Analisis
Perbandingan
 













III.       METODE PENELITIAN
            Metode yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan langkah kerja dalam mendapatkan data sampai menarik kesimpulan. Penelitian ini digolongkan dalam penelitian dekskripsi kualitatif. Masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk pengunkapan gagasan lesbian sebagai bagian dari wacana femenisme dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu (studi sastra bandingan).  Dalam hal ini peneliti menggunakan metode perbandingan sikronik yaitu perbandingan dua karya sastra yang se-zaman.
A.      Fokus Penelitian dan Desaian Penelitian
1.      Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah gagasan feminisme melalui wacan lesbian dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesayu.
            Ruang lingkup yang digunakan dalam penelitian ini adalah paparan kalimat, paragraf, baik dalam bentuk teks narasi, dialog, dan monolog yang menunjukkan bentuk feminisme dalam hubungannya dengan wacana lesbian dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesayu.
2.   Desain Penelitian
        Penelitian ini termasuk dekskripsi kualitatif. Menurut Bodgan dan Taylor (dalam Moleong, 2009: 4) dekskripsi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deksriptif berupa kata-kata baik lisan maupun tertulis. Dalam hal ini peneliti menggambarkan gagasan feminisme sehubungan dengan wacana lesbian dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
B.     Definisi  Istilah
Untuk mempermudah pemahaman terhadap objek penelitian maka perlu diberi batasan istilah, yaitu:
1.      Lesbian adalah perempuan yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya
2.      Lesbianisme adalah perihal cinta berahi antara sesama perempuan yang menyangkut hubungan seksual antara sesama perempuan.
C.  Data dan Sumber Data
1.    Data
            Data  dalam penelitian ini adalah kalimat dan paragraf yang mengungkapkan gagasan feminisme sehubungan dengan wacana lesbian dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
2.   Sumber Data
            Sumber data dalam penelitian adalah novel Swastika karya Maya Wulan yang diterbitkan oleh PT.Grasindo dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama.


D.    Teknik Pengumpulan Data
           Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan oleh peneliti dalam mengumpulkan data yang berhubungan dengan objek penelitian. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik membaca dan teknik mencatat. Kedua teknik tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1.      Teknik membaca
Teknik ini dilakukan dengan membaca berbagai macam literatur yang berhubungan dengan penelitian dan sumber data utama yaitu novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
2.      Teknik mencatat
Penerapan teknik ini dilakukan dengan cara mencatat hasil pengamatan berupa kalimat, paragraf  yang mengungkapkan gagasan lesbian dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dicatat ke dalam korpus data yang telah disediakan.
E.     Teknik Analisis Data
      Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dekskriptif kualitatif, yakni peneliti menafsirkan bentuk pengunkapan feminisme dalam hubungannya dengan wacana lesbian dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesayu.
Analisi data dalam penelitian ini dilakukan melalui prosedur sebagi berikut:
1.      Mengklasifikasikan data sesuai dengan rumusan masalah, yaitu berupa bentuk pengunkapan feminisme dengan menggunakan teori lesbian Adrienne Rich dalam novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
2.      Menganalisi data dengan menggunakan teori Adrienner Rich kemudian hasil dari analisis data didekskripsikan berdasarkan hasil analisis dalam novel  Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
3.      Menginterpretasikan data dengan mengacu pada penilaian data dan pemaknaan sesuai dengan data yang diperoleh berdasarkan rumusan masalah dalam hal ini studi sastra bandingan dalam novel Swastika  karya Omaya Wulan dan Nayla Karya Djenar Maesa Ayu.
4.      Menarik kesimpulan yang menunjukkan muatan feminis terhadap analisis data berdasarkan hasil perbandingan yang dilakukan pada novel Swastika karya Maya Wulan dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.










DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Ahyar. 2009. Geneologi Feminis (Dinamika Pemikiran Feminis dalam Novel
Pengarang Perempuan Indonesia 1933-2005). Jakarta: Republika.

Barker, Chriss. 2009. Cultural studies (Teori dan Praktik). Terjemahan Nurhadi. Kasihan Bantul: Kreasi Wacana

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta: Medpress.

Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Satra feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Hasan, Alwi, dkk.  2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Gamble, Sarah. 2010. Feminisme dan Postfeminisme. Terjemahan: Tim Penerjemah Jala Sutra. Yogyakarta: Jala Sutra.

Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme. Terjemahan Mundi rahayu. Yogyakarta: Fajar Pustaka baru.

Jakson, Stevi dan Jackie Jones. 2009. Teori-Teori Feminis Kontemporer. Yoyakarta: Jalasutra.

Maesayu, Djenar. 2006. Nayla. Jakarta: Gramedia Pustaka utama.

Moleong, Lexi J. 2009. Metodologi penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Oktivita, 2009. Prilaku Seksual Dalam Novel Zaman Karya Ayu Utami. Skripsi. On line (http://etd.eprits.ums.ac.id) diakses 25 februari 2011.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2007. Kajian Budaya Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.

Rich, Adrienne. Compulsory Heteroseksuality and Lesbian Eksistence. On line
(http://en.wikipedia.org/wiki)  diakses 14 februari 2011.

Rokhman, Muhammad arif. 2009. Beberapa Tonggak Dalam Sastra banding. On line (http://independent-institute.org) diakses 10 Januari 2011.
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis (Perempuan dalam karya-karya Kuntowijoyo). Yogyakarta: Citra Pustaka.

Suroso, dkk. 2009. Krtik sastra (Teori, Metodologi, dan Aplikasi). Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta: Gramedia.

Wulan, Maya. 2004. Swastika. Jakarta: PT Grasindo.


















 





















LAMPIRAN I
SINOPSIS
SWASTIKA
Swastika bercerita tentang tokoh swastika yang pemberontak yang selalu menentang keinginan sang ayah. Swastika tumbuh dari kalangan keluarga yang agamais, menjunjung tinggi ajaran islam. Keluarganya seorang nahdatul ulama, tidak heran jika saudara-saudara swastika jebolan pesantren-pesantren terkemuka.
Berbeda dengan Swastika yang pembangkan dan tidak penurut,meninggalkan rumah adalah pilihan daripada mengikuti keniginan sang ayah yang memaksanya masuk ke sekolah pesantren. Swastika memiliki seorang sahabat yang bernama Sila Drupadi, seorang perempuan berjilbab yang menurutnya sangat lembut. Kepada silalah Swastika merasa dekat dibandingkan dengan keluarganya. Sila pulalah yang selalu memberikan segala nasehat dan petuah-petuah. Mungkin itu adalah salah satu alasan Swastika menyukai Sila. Perasaan suka yang tidak wajar.
Swastika kemudian melanjutkan studinya di Yogyakarta begitupun dengan Sila. Jauh dari keluarga semakin membuatnya tumbuh menjadi seorang perempuan yang bertanduk dan bersayap. Alkohol dan rokok telah menjadi teman setianya.  Aktif di berbagai lembaga kampus tidak membuatnya mampu mengusir perasaan sukanya kepada Sila. Sahabat masa kecilnya. Tidak jarang swastika beonani dalam kamar sambil membayangkan sila.
Demi membuang dan membunuh rasa kepada sila, Swastika memulai petualangannya. Sudah tak terhitung lelaki yang pernah tidur dengannya.baginya laki-laki hanyalah permainan dalam seks. Moral tak lagi menjadi soal baginya, kesucian tidak termasuk lagi dalam hitungan. Yang penting bagi swastika bagaimana menenggelamkan perasaanya kepada seseorang yang berwujud perempuan yaitu Sila. Perlahan Swastika pun menikmatinya sebagai sebuah kebutuhan. Meskipin nun jauh di sana ada seseorang yang mengharapkannya, seseorang yang tulus mencintainya, Amar Amarullah Malik pacar Swastika. Dengan kehadiran Amar swastika berharap mampu mebunuh segala kebiasan buruknya. Sebuah mimpi yang tidak akan pernah terwujud. Swastika tetap bertanduk.
Seni Lukis membawa Swastika ke Puncak karier, pameran demi pameran digelar untuk memamerkan hasil karyanya. Karena kesibukan dengan dunia barunya, begitupun dengan Sila dengan lembaganya, frekuensi keduanya untuk bertemu hampir tidak ada. Sampai akhirnya Sila dikabarkan hilang.
Perlahan Swastika mulai menanggalkan tanduknya, swastika takut mati karena AIDS. Untuk mengakhiri petualangannya Swastika memutuskan untuk menikah dengan Amar. Pernikahan itu pun berujung pada kekecewaan saat Amar mengetahui bahwa Swastika bukan perawan lagi. Hancur luluh hati Swastika, dia yang tak pernah mempersoalkan masalah virginitas kini terhempas ke dalam kubangan yang dia ciptakan sendiri. Bayangan Sila pun kembali terlintas dalam ilusinya.



NAYLA
Nayla sejak kecil hidup bersama dengan ibunya tanpa kehadiran sosok seorang ayah. Lelaki yang telah mencampakkan sang ibu dan tidak mengakui Nayla sebagai darah dagin.
Jadilah ibu Nayla sebagai singgle parenst, berjuang membanting tulang demi menyekolahkan Nayla. Segala sesuatu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Nayla, termasuk kemewahan. Namun demikian, sang ibu kadang memperlakukan Nayla dengan kejam. Memasukkan peniti ke vagina Nayla. Hal itu semua dilakukan dengan alasan Nayla menjadi tegar, kuat, sebagai seorang perempuan. Tidak menjadi sosok pemalas, memilih ngompol daripada ke wc.
Menginjak bangku SMP Nayla melarikan diri kerumah ayahnya. Tapi sayangnya, sang ayah berumur pendek. Semenjak itu itu Nayla seperti uring-uringan dan orang-orang menganggap Nayla gila. Karena khawatir dengan kondisi Nayla, mbak Ratu memasukkan Nayla ke panti rehabilitasi.
Nayla melarikan diri dari panti dan hidup dijalanan. Hidup di jalanan semakin membuatnya kuat sebagai perempuan. Di jalanan pula, Nayla mengenal Juli penata lampu di sebuah diskotik. Juli seorang perempuan pecinta sesama jenis. Berkat Juli Nayla bisa bekerja sebagai juru lampu.  Selain sebaga juru lampu, Nayla juga terkadang melayani para tamu-tamu. Tak terrhitung berapa banyak laki-laki yang telah tidur dengannya. Keperawanan tidak lagi menjadi hal bagi Nayla, sejak umur 9 tahun Nayla sudah tidak perawan lagi. Gaya hidup orang dewasa telah dinikmatinya mulai dari rokok sampai kepada minuman, hal itu semua nayla dapatkan sejak masih kecil.
Melihat Nayla dipuja banyak lelaki, kadang Juli merasa terbakar api cemburu begitupun sebaliknya. Nayla benci ketika kekasih semampai Juli datang menemuinya. Bersama Juli, Nayla menemukan sesuatu yang selama ini hilang dari dirinya kasih sayang yang tulus. Bagi Nayla lebih baik mencintai Juli daripada memilih laki-laki yang hanya mengincar selaput darah.
Setelah berjalan beberapa waktu Nayla putus dengan Juli. Juli memilih meniggalkan Nayla karena tak tahan melihat Nayla yang gonta-ganti pasangan. Setelah putus dengan Juli, Nayla mengenal Ben. pertemuan yang diawali dari sebuah bar dan akhirnya mereka pun jalan. Kisah yang hampir sama dengan Juli, ben meninggalkan Nayla. Pasca putus dengan Ben nayla menekuni dunia barunya menulis.




LAMPIRAN II
BIOGRAFI PENGARANG: MAYA WULAN
            Maya Wulan dilahirkan di Bontang, 13 Mei 1982. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awal menulis karya sastra berupa puisi saat duduk dibangku SMU. April 2003 Maya Wulan mulai menekuni dunia cerpen.
            Hasil karyanya banyak dipublikasikan di media massa, antara lain jurnal Lamin Sastra (Kaltim), Republika, Jurnal Cerpen Indonesia, Riau Pos, Jawa Pos, Padang Ekspress, Majalah sastra Horison, dan jurnal Puisi.
            Bukunya yang telah terbit Kumpulan Cerpen Membaca Perempuanku (creative Writing Institute, Jakarta) terbit Juli 2003. Maya Wulan pernah meraih penghargaan Krakatau Award (juara kedua) untuk lomba penulisan cerpen se-Indonesia yang diadakan oleh Dewan Kesenian Lampung tahun 2003.
            Novel Swastika adalah novel pertama Maya Wulan, yang diterbitkan oleh PT. Grasindo tahun 2004.
BIOGRAFI PENGARANG: DJENAR MAESA AYU
    Djenar Maesayu dilahirkan di Jakarta 14 Januari 1973. Dari pasangan buah cinta seniman besar Sjumandjaya dan aktris Tutie Kirana. Cerpen-cerpennya telah tersebar di berbagai media massa Indonesia sepeti Kompas, the Jakarta Post, Republika, Koran Tempo, majalah Cosmopolitan, dan Lampung Post.
    Buku pertama Djenar berjudul Mereka Bilang saya monyet, telah di cetak ulang 8 kali dan termausk dalam daftar nominasi 10 besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003, dan juga diterbitkan  dalam bahasa Inggris. Cerpen “Waktu Nayla” menyabert predikat Cerpen Terbaik Kompas 2003, yang dibukukan bersama cerpen “Asmoro”. Cerpen “Menyusu Ayah” menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richar Oh ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Suckling Father” untuk dimuat kembali dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris, edisi kolaborasi karya terbaik Jurnal Perempuan.
    Buku keduanya, jangan main-main dengan kelaminmu juga meraih sukses dan cetak ulang kedua hanya dua hari setelah buku itu diluncurkan. Kunpulan cerpen ini berhasil meraih penghargaan 5 besar khatulistiwa Literay Award 2004. Nayla adalah novel pertama Djenar yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Telah terbit juga kumpulan cerpennya yang baru dengan judul  satu perempuan 14 laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cermin

Kuperhatikan lekat-lekat wajah yang disana Tepat berdiri dihadapanku, tidak jauh beberapa cm.                    Siapakah perempuan in...