Jumat, 08 Desember 2017

MEMBACA HAMSAD RANGKUTI: GAGASAN TENTANG PEREMPUAN

Membaca Hamsad Rangkuti “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” hal pertama yang saya harapkan ketika membaca judul adalah bertemu dengan Djenar kedua versi Hamsad, ataukah Ayu Utami, Oka Rusmini dan tokoh pengarang perempuan yang lain. Hal yang sama ketika saya membaca “Mengawini Ibu” yang ditulis oleh Khrisna Pabbicara. Mitos “jangan mengklaim sesuatu dari luarnya” tampaknya berlaku. Saya bahkan membayangkan tokoh “perempuan” yang diciptakan Hamsad cenderung liar dan bebas, tetapi tampaknya Hamsad memiliki konsep yang berbeda tentang perempuan. Seorang perempuan yang tidak betah dengan kenangan, tentu saja dalam dunia kontemporer banyak melanda para generasi- generasi baper, demikian saya menyebutnya. Generasi-generasi yang cepat meleleh dengan keromatisan tokoh “Dilan”. Hamsad berbicara tentang perempuan era kontemporer, perempuan yang bebas memilih kapan dan pada siapa mereka harus jatuh cinta. Termasuk soal umur. Kalau dulu, dalam kisah Siti Nurbaya dan Datuk Maringgi adalah persoalan kawin paksa, pertentangan antara kaum muda dan tua. Nah, dalam cerpen ini kita melihat bagaimana perasaan itu kemudian hadir tanpa paksaan. “Aku lima empat dan kau dua-dua. Itu tidak mungkin. “Mungkin.” “Aku Datuk Maringgih dan kau Siti Nurbaya, dalam usia. Apa yang memaksamu? “Entahlah. Aku pun tak tahu. (2016:199) Seperti yang pernah saya katakan dalam salah satu artikel “Representasi Budaya Pop dalam teks Pengarang Perempuan” bahwa nyatanya istilah “Tren” bukan hanya melulu soal style, konsep ini juga berlaku dalam hal kepengarangan. Seorang pengarang tidak akan jauh-jauh dari realitas sosial (Sosiologi sastra),dalam lingkungan sosial pun ramai menjadi perbincangan pada dunia maya dan selalu menjadi headline news, kalah-kalah dengan gosip artis. “Nenek menikah dengan pria belasan tahun” dan sebaliknya “kakek-kakek yang menikahi perempuan belasan tahun” Entah sejauh mana Hamsad melakukan peristiwa “cerminan”. Sebelumnya beberapa pengarang laki-laki membahasakan perempuan dari sudut pandang kelaki-lakian. Ahmad Tohari misalnya menciptakan seorang Srintil yang terpaksa harus tunduk pada aturan adat dengan menjadi Ronggeng, yang dalam istilahnya sebagai pelayan laki-laki. Pramudya Ananta Toer dalam “Gadis Pantai” yang harus menikah dengan Bendoro dan menerima nasibnya sebagai seorang perempuan, patuh dan taat sesuai dengan kodrat dan aturan yang melekat. Gagasan tentang perempuan kontemporer kemudian menjadi hal lain dari kacamata seorang Hamsad. Perempuan tidak lagi dalam situasi “dipilihkan” tetapi “memilih” hal ini terepresentasi pada tokoh Chencen memilih kehidupannya bagaimana dia harus berakhir.

Cermin

Kuperhatikan lekat-lekat wajah yang disana Tepat berdiri dihadapanku, tidak jauh beberapa cm.                    Siapakah perempuan in...